Yang Dihancurkan dan Yang Tercemar: Taliban dan Patung-patung Budha di Bamiyan

Yang Dihancurkan dan Yang Tercemar: Taliban dan Patung-patung Budha di Bamiyan

1.

DIRILIS CNN pada 11 Maret 2001, sebuah foto memperlihatkan debu-debu tebal beterbangan di sekeliling patung Budha di lembah Bamiyan, Afghanistan. Foto itu menandai gagalnya dunia menahan rencana pemerintahan Islam Taliban, diumumkan dua minggu sebelumnya, untuk menghancurkan semua patung non-Islam di negeri itu.

Awal Maret, ancaman itu menjadi kenyataan. Akibat aksi itu, patung-patung Budha, dua di antaranya yang terbesar dan tertinggi di dunia, berusia sekitar satu setengah millenium, rusak berat tak berbentuk. Inilah kekejaman terhadap warisan budaya paling serius sejak Revolusi Kebudayaan di Cina. Dengan tinggi masing-masing 53 meter dan 38 meter, dibangun sekitar lima atau empat abad sebelum masehi, sudah lama kedua patung itu dipandang sebagai bukan saja warisan terpenting milik umat Budha, melainkan juga warisan kebudayaan yang harus dihargai umat manusia.

Selain itu, justifikasi Islam pemerintah Taliban mau tak mau membuat nama Islam ikut tercemar. Sekalipun sejarah menunjukkan bahwa sejumlah pembesar Muslim menghargai tinggi karya seni, salah satunya (Tajmahal) malah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, aksi Taliban ini mengingatkan orang kembali akan doktrin (pinggiran) Islam mengenai ikonoklasme. Dan di India, orang mengaitkannya dengan aksi penghancuran Masjid Babri dan menyebut peristiwa ini sebagai aksi pembalasan.

Hari-hari ini, ketika Taliban dilaporkan kembali mengancam ibukota Kabul, saya teringat lagi peristiwa itu. Peristiwa yang memperlihatkan betapa berbahayanya jenis Islam yang ditawarkan para penghancur patung itu, yang merasa bahwa kebenaran sudah begitu bulat ada di tangan mereka.

 

2.

BUDHISME dibawa masuk ke Afghanistan pada abad kelima sebelum Masehi oleh Ashoka, Kaisar Mauryan. Agama itu memperoleh lahan subur di provinsi Gandhara (Afghanistan Timur dan Pakistan Utara sekarang), pada abad kedua sebelum Masehi, di bawah Kanishka, pemimpin terkenal Kushan.

Afghanistan adalah jantung Jalur Sutra waktu itu, karena tiap orang yang membelah darat dari Timur ke Barat tidak punya pilihan lain kecuali melewatinya. Para pendeta Budha menyertai barang dan manusia yang melintasi wilayah ini, bersama ajaran dan kitab suci mereka. Dari sisi dunia inilah Budhisme kemudian menyebar ke Cina, Jepang, Korea, Tibet, Nepal, Bhutan, dan Mongolia. Dan di abad-abad pertama Masehi, belahan timur Afghanistan sudah penuh dengan monasteri Budha yang ramai, stupa dan para pendeta.

Di iklim yang damai ini tumbuh kesenian baru: kesenian Gandhara, sesuai nama tempatnya. Asal- usulnya tidak begitu jelas, tapi diduga bahwa pengaruh Helenisme dalam warna keseniannya cukup kuat. Pada periode ini, patung-patung Budha dalam bentuk manusia juga berkembang di wilayah Kushan atau Saka.

Dalam atmosfir inilah umat Budha kemudian mendirikan dua masterpiece, patung Budha yang tinggi dan besar. Keduanya kemudian dikenal sebagai “ Budha Bamiyan,” merujuk kepada lembah indah di mana keduanya didirikan, sekitar 230 kilometer dari Kabul. Karena lokasinya yang strategis, karavan yang melintasi Jalur Sutra umumnya berhenti di lembah ini. Lembah itu menjadi salah satu pusat Budha, sejak abad kedua hingga kedatangan Islam pada abad kesembilan.

Kedua patung itu dipahat menyatu dengan karang kokoh yang menempel di bukit Bamiyan. Keduanya dibuat dari campuran lumpur dan jerami, untuk kemudian diplester dan dilukis: patung Budha yang lebih kecil dengan warna biru, dan yang lebih besar Merah, dengan tangan dan wajah keduanya diberi warna keemasan. Ukuran patung itu sudah lama mencengangkan orang. Kehadirannya pertama kali dicatat pada 632 oleh Hsüan-tsang, seorang pendeta Cina yang berkunjung ke Bamiyan dan memuji keagungannya.

Dalam sejarahnya yang berabad, kedua patung itu sudah mengalami berbagai perubahan. Warnanya yang asli, seperti yang diceritakan Hsüan-tsang, misalnya, sudah tak kelihatan. Bagian-bagian tertentu dari muka patung yang lebih besar dan pundak patung yang lebih kecil sudah cacat. Namun secara keseluruhan survivalitasnya mengagumkan: di tengah lingkungan yang begini rentan serangan, dengan penguasa silih-berganti, keduanya tetap panjang umur, berdiri tegak di lembah Bamiyan.

Nasib keduanya baru benar-benar dikhawatirkan dunia ketika Afghanistan menjadi ajang perang saudara sejak dekade 1980-an. Akibat perang saudara ini, Museum Kabul, misalnya, yang juga menyimpan benda-benda seni tak ternilai, rusak berat terkena bom dan artileri. Lalu, pada awal 1990-an, ruang di kaki patung Budha yang lebih besar digunakan sebagai gudang amunisi oleh faksi-faksi yang bertikai. Selain praktis, tempat itu mudah dipertahankan dan kering. Juga, tidak ada yang berani menyerang, karena kerusakan pada patung itu akan menyengat perhatian dunia.

 

3.

SITUASINYA baru berubah dengan tampilnya Taliban di tengah perang saudara. Pada pertengahan 1990-an, mereka mulai mengontrol sebagian besar Afghanistan dan menerapkan kebijakan Islam yang ekstraliteral dan ketat. Kaum perempuan dilarang bekerja atau pergi sekolah, juga ke luar rumah, tanpa suami atau pendamping laki-laki yang syah. Musik, bioskop, dan foto orang atau binatang adalah sedikit di antara banyak aspek kehidupan modern yang dilarang. Ditopang ideologi  Islam yang ultrakonservatif, mereka percaya bahwa penggambaran benda-benda hidup adalah bagian dari kemusyrikan. Mereka juga percaya, orang-orang Budha menyembah Budha, dan karenanya patung-patung Budha harus dihancurkan.

Lembah Bamiyan kala itu masih gonta-ganti dikuasai Taliban dan lawannya. Pada 1997, seorang pemimpin Taliban yang mencoba menduduki lembah itu menyatakan, patung-patung Budha akan dihancurkan segera setelah lembah itu mereka kuasai. Tapi desakan internasional membuat pemimpin tertinggi Taliban melarang penghancuran itu dan berjanji akan mempertahankan warisan budaya Afghanistan.

Namun, pada awal 1998, kepala patung Budha yang lebih kecil dan sebagian pundaknya digempur, sebagian oleh roket dan sebagian lainnya oleh bom. Sedang patung Budha yang lebih besar, kepalanya dibolong-bolongi, untuk dimasukkan ke dalamnya dinamit untuk meledakkannya. Aksi penghancuran ini hanya dapat dihentikan oleh Gubernur Bamiyan yang tampaknya masih belum punya ketetapan tegas.

Tapi nyata kemudian bahwa ini bukan akhir cerita. Luke Harding, wartawan Guardian, melaporkan bahwa gubernur itu memperoleh tantangan besar di kalangan elite Taliban. Dan ia benar. Pada 26 Februari 2001, pemerintah Taliban mengumumkan fatwa yang lengkapnya berbunyi demikian: “ Berdasarkan musyawarah para pemimpin agama di Emirat Islam Afghanistan, penilaian keagamaan para ulama, dan pejabat Mahkamah Agung Emirat Islam Afghanistan, semua patung dan tempat suci non-Islam yang terletak di berbagai lokasi di Emirat Islam Afghanistan harus dihancurkan. Patung- patung itu sudah lama dan terus menjadi tempat-tempat suci kaum kafir, dan kaum kafir ini terus menyembah dan menghormati tempat-tempat suci tersebut. Allah adalah satu-satunya yang suci  dan semua tempat suci yang palsu itu harus dimusnahkan. Karena itu, Pemimpin Tertinggi Emirat Islam Afghanistan telah memerintahkan kepada semua wakil dari Kementerian Penegakan Kebenaran dan Penghentian Kejahatan dan Kementerian Informasi dan Kebudayaan untuk menghancurkan semua patung. Seperti yang diperintahkan, oleh para ulama dan Mahkamah Agung Emirat Islam Afghanistan, semua patung harus dimusnahkan sehingga tidak satu pun orang yang menyembah dan menghormatinya di masa depan.”

Segera setelah fatwa itu diumumkan, masyarakat internasional bereaksi keras terhadapnya. Beberepa pemerintah, termasuk Pakistan, salah satu dari sedikit pemerintah yang mengakui pemerintahan Taliban di Afhanistan, menentang fatwa itu. Menyusul kemudian reaksi keras pemerintah India, Iran dan PBB, khususnya badan kebudayaannya, UNESCO. Pemerintah Sri Lanka, negeri dengan sejarah Budhisme yang panjang, mengimbau negara-negara tetangga Afghanistan untuk mengepung rencana itu dan menghentikannya.

Peran UNESCO yang dominan, sesuai tugasnya di bawah PBB, layak dikemukakan khusus. Di hari yang sama ketika fatwa itu diumumkan, dari kantornya di Paris, Direktur Jenderal badan ini mengeluarkan imbauan pertama agar pemerintah Taliban memelihara peninggalan budaya Afghanistan. Dua hari berikutnya, 28 Februari, ia mengirim surat pribadi kepada dutabesar Afghanistan di Islamabad, Pakistan, untuk menghentikan rencana itu. Menyusul langkah-langkah ini, ia menyelenggarakan serangkaian pertemuan dengan dutabesar negara-negara Muslim di Paris, khususnya negara-negara yang mengakui pemerintahan Taliban, untuk tujuan sama. Awal Maret, Pierre Lafrance, Wakil Khusus Direktur Jenderal, terbang ke Islamabad, untuk bermusyawarah dengan pemerintah Pakistan, dutabesar Taliban, dan beberapa pemimpin Islam dengan maksud sama. Pada 4 Februari 2001, Lafrance berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Taliban di Kandahar. Lalu, 11 Maret, di Kabul ia berjumpa dengan Menteri Kebudayaan Taliban. Semua langkah itu tak mengusik niat awal pemerintah Taliban.

Yang tak kalah keras adalah protes kelompok-kelompok agama di dunia mendengar fatwa Taliban di atas. Suara dari negara dengan jumlah umat Budha yang besar tentu paling keras. Jepang, misalnya, mengancam bahwa semua bantuan ke Afghanistan akan dihentikan jika patung itu dihancurkan. Selain itu, beberapa pemerintah dan museum menawarkan agar patung itu diangkat ke luar dari Afghanistan, atau dibeli sekalian agar uangnya dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi negeri itu yang kacau-balau.

Negeri-negeri Muslim juga mengecam rencana pemerintah Taliban ini, sambil menegaskan bahwa warisan budaya umat agama lain harus dihormati. Awal Maret, sejumlah pemimpin Muslim dari Mesir, Irak dan Pakistan mengeluarkan fatwa tandingan bahwa niat Taliban untuk menghancurkan patung Budha di atas bertentangan dengan Islam. Selain itu, Presiden Mesir dan Pakistan, juga pemimpin OKI (Organisasi Konferensi Islam), mencoba mendekati para pemimpin Taliban agar menghentikan niat mereka. Dan Dawn, harian terbesar di Pakistan, menulis demikian dalam editorialnya: “ Islam adalah agama yang menjunjung tinggi harmoni dan koeksistensi damai…. Budha adalah salah seorang rasul perdamaian dan non-kekerasan. Ia tentu layak memperoleh perlakuan lebih baik dibanding apa yang diterimanya dari tangan-tangan para fanatikus buta (blind zealots) di Afghanistan.”

Lepas dari ramainya penolakan dunia, para pemimpin Taliban menegaskan keinginan mereka untuk merobohkan patung-patung Budha. Setelah pertemuannya dengan wakil-wakil OKI, Mawlawi Qudratullah Jamal, Menteri Informasi dan Kebudayaan Taliban, menyatakan, “ Kami akan mengulangi apa yang sudah kami katakan kepada mereka yang sudah kami temui sebelum ini, bahwa kami tidak akan menarik kembali fatwa, dan bahwa tidak satu pun patung yang akan dipertahankan.” Sementara itu, Wakil Ahmed Mutawakkil, Menteri Luar Negeri, menyatakan, “ Patung-patung itu ditinggalkan para leluhur kami sebagai warisan yang salah. Peninggalan itu bertentangan dengan kepercayaan kami.” Katanya lagi, “ Kami tidak menentang peninggalan kebudayaan, tetapi kami tidak percaya pada hal-hal seperti ini. Patung-patung itu bertentangan dengan Islam.” Akan halnya mengenai tawaran menjual patung-patung itu, ia menegaskan bahwa Taliban ingin dikenang sebagai “ penghancur berhala, bukan penjual patung-patung.”

 

4.

DEMIKIANLAH, pada 2 hingga 4 Maret, Taliban mulai secara sistematik menghancurkan patung- patung Bamiyan, menggunakan semua alat dari misil anti-pesawat terbang hingga tank dan dinamit. Dalam pesannya “ meresmikan” aksi penghancuran itu, Mullah Mohammad Omar berseru kepada rakyat Afghanistan dan kaum Muslim di seluruh dunia untuk “ menggunakan kebajikan mereka yang terdalam,” terutama dalam menangkal reaksi dunia yang mengecam aksi itu. “Apakah tepat jika kita dipengaruhi oleh propaganda kaum kafir?” tanyanya retoris. Dan pada 10 Maret, jurubicaranya menyatakan bahwa 80 persen patung-patung yang ada sudah dihancurkan: “Sisanya hanya sedikit, dan kami akan menghancurkannya segera.”

Akan halnya tentang penghancuran itu sendiri, beginilah kata Qudratullah Jamal: “ Kerja menghancurkan patung-patung itu tidak semudah seperti yang mungkin dibayangkan orang. Anda tidak bisa merobohkan kedua patung itu dengan dinamit atau bom, karena keduanya sudah kokoh menyatu dengan bukit. Keduanya dibentuk dan didirikan menempel dengan gunung.”  Toh ia juga bilang, “ Dibanding membangun, lebih mudah menghancurkannya.” Juga, “ Patung itu bukan soal besar. Keduanya hanya objek yang dibuat dari lumpur atau batu.”

Pada dua minggu pertama sejak dimulainya penghancuran, tidak ada berita mengenainya. Rumor mengenainya, seperti dirilis CNN pada 11 Maret, tidak dapat dikonfirmasi, karena pemerintah Taliban melarang masuknya wartawan ke wilayah itu. Baru pada 26 Februari dunia menyadari kebenarannya, ketika 20 orang wartawan sengaja dibawa Taliban ke sana, untuk menyaksikan hasil penghancuran mereka. Laporan mereka: tidak ada yang tersisa dari patung yang tingginya 53 meter kecuali tumpukan batu-pasir yang menakutkan. Tentang patung yang lebih kecil, yang dapat dilihat hanya sisa jubah sang Budha.

 

5.

HAMPIR tanpa kecuali, seluruh dunia mengecam aksi di atas. UNESCO menyebutnya “ kejahatan atas kebudayaan” (crime against culture). Koichiro Matsuura, Dirjennya yang asal Jepang, dikutip menyatakan, “ dengan melancarkan aksi-aksi vandalisme ini, Taliban tidak menolong baik cita-cita Islam maupun Afghanistan. ” Katanya juga, “ Benar-benar mengerikan bahwa kita menyaksikan aksi penghancuran yang begitu dingin dan terkalkulasi, terhadap benda-benda budaya yang merupakan peninggalan bukan saja bagi rakyat Afghanistan, tetapi juga bagi seluruh umat manusia.”

Di Sri Lanka, penasihat Presiden Chandrika Kumaratunga menawarkan keinginan pemerintahnya untuk membeli sisa-sisa patung itu, dengan harapan dapat mendirikan kembali almarhum patung Budha di negerinya. Mereka didukung negara tetangganya Bangladesh. Di Dhaka, ratusan guru, artis dan budayawan mengecam aksi Taliban sebagai “ penghancuran barbarik” atas patung Budha.

Islam mulai disebut-sebut di India dalam kaitannya dengan ulah Taliban di atas. Dalam pertemuan mendadak Buddhist Heritage Project di New Delhi, anggota-anggotanya menyatakan marah besar kepada Taliban. Kalangan cendekiawan dan para pendeta turun ke jalan memprotes aksi itu. Mereka menyebutnya sebagai bukti bahwa “ kaum militan Islam bertindak tidak toleran terhadap agama-agama lain, khususnya Budhisme.”

Dari Iran, bekas presiden Akbar Hashemi Rafsanjani turun gunung. Ia mengecam pemerintah Taliban sebagai “ gila,” dan menyatakan bahwa aksi pengrusakan itu “ tidak ada logikanya.” Sedang penggantinya, Presiden Mohammad Khatami, menyebut penghancuran itu sebagai “ tidak manusiawi dan aksi kekerasan.”

Pada awal bagian ini saya menyebut “ hampir tanpa kecuali,” karena memang demikianlah adanya. Sejauh saya ketahui, hanya sebuah situs di Internet yang dikelola sekelompok atheis yang menyambut baik peristiwa di atas sebagai bukti “ tiada yang abadi di atas bumi.” Sehubungan dengan Taliban, mereka seakan ingin mengatakan, pada akhirnya hanya kegilaan yang bisa menghentikan kegilaan lainnya.

Ini sebenarnya cukup mengherankan. Kalangan Muslim yang percaya pada ikonoklasme, doktrin bahwa Islam melarang penggambaran makhluk hidup, bukan tak ada. Tiadanya dukungan terbuka mereka terhadap Taliban saya duga karena sedikitnya dua sebab. Pertama, sekalipun menyetujui prinsipnya, mereka memandang langkah itu tidak strategis mengingat konteks geopolitisnya tidak mendukung. Atau, kedua, mungkin juga mereka tidak sejantan Taliban: menyukuri implikasinya, tetapi tidak mau terkena getah akibatnya.

 

6.

YANG juga harus disebut khusus dalam kaitan ini adalah sikap dan pandangan para sarjana Muslim, yang merasa bahwa paham mereka mengenai hubungan Islam dan seni tercoreng oleh ulah Taliban. Muhammed Hashim Kamali, gurubesar hukum Islam pada International Islamic University, Malaysia, menuduh Taliban sebagai “menyalahpahami baik Islam maupun realitas Afghanistan.” Dalam kolomnya yang diterbitkan al-Ahram, koran terbesar Mesir, ia menulis, tak seorang pun yang berakal sehat dapat membela fanatisme seperti pada aksi Taliban itu dengan membawa-bawa nama Islam, “karena Islam tidak mungkin mengizinkan aksi penghancuran terhadap kekayaan nasional yang tak ternilai.” Ia percaya bahwa patung-patung Budha di Bamiyan, atau di mana pun, tidak ada penyembahnya di Afghanistan. Katanya pula, ia tidak pernah mendengar ada orang Islam yang beralih menjadi Budhis karena patung itu, apalagi menjadi penyembahnya.

Lebih dari itu, Kamali menegaskan, “ memelihara hak milik dan kekayaan adalah satu dari lima kewajiban utama (al-dharûriyyât al-khamsa) Islam, selain hak hidup, agama, berpendapat dan keluarga. Memelihara dan mengembangkan nilai-nilai ini adalah kewajiban Islami sebuah pemerintahan. Karenanya, adalah kewajiban pemerintah Taliban untuk menjaga dan memelihara warisan dan harta kekayaan Afghanistan.” Bahkan, tambahnya, “sekalipun jika relik yang dipersoalkan itu dipandang sebagai berhala-berhala Budhis, Islam tidak mewajibkan kita untuk menghancurkannya kecuali jika ada bukti bahwa relik itu sudah berubah fungsi menjadi alat pemberhalaan.” Sebagai orang yang lahir di Afghanistan, Kamali juga menegaskan bahwa pengalamannya besar di negeri itu menunjukkan bahwa etos menyembah berhala benar-benar asing.

Dari Amerika Utara datang komentar keras sarjana perempuan Azizah Al-Hibri, gurubesar hukum Islam pada Universitas Richmond, yang berkali-kali ditanya perihal pengrusakan patung Budha oleh Taliban. Seraya menilik sejarah Islam, kecamannya terhadap Taliban tak kalah keras: “Selama berabad-abad, Islam telah memelihara dan bahkan mempertahankan semua ekspresi kultural yang ada sebelum kedatangannya, termasuk Sphinx di Mesir, Persepolis di Persia, rumah-rumah ibadah kuna milik agama-agama lain, beserta foto, gambar, artefak dan barang-barang lain yang menjadi miliknya.” Malah, katanya lagi, seandainya tidak dipelihara para penguasa Muslim, khazanah itu bisa jadi sudah lenyap. Ia menyebut khalifah kedua `Umar sebagai contoh. Ketika memasuki kota-kota yang diduduki Islam, ia melarang penghancuran apa pun hak milik orang Kristen, apalagi tempat- tempat suci mereka.

Sementara itu, Souren Melikian, editor seni pada International Herald Tribune dan salah satu sarjana paling menonjol di dunia dalam bidang sejarah seni Iran, Afghanistan dan Asia Tengah, memandang penghancuran itu “ sama tak tertandingi ongkosnya dengan Revolusi Kebudayaan di Cina.” Ia menolak keras pembenaran Taliban dan menegaskan bahwa tidak ada basis bagi vandalisme semacam itu dalam Islam. “ Bahkan,” katanya, “ dunia Islam telah mengagumi kedua patung itu sejak pertamakali Islam diperkenalkan ke wilayah itu pada abad kesembilan. … Kaum Muslim memandang kedua patung Budha itu dengan penuh kekaguman, tanpa pernah mengucapkan suara bernada mengecam.” Ia juga menceritakan bahwa, pada abad ke-11, Sam`ani, penulis Iran asal Marv (sekarang di sebelah timurlaut Turkmenistan), menyebut kedua patung itu sebagai Surkh But (bahasa Persia untuk “ Budha Merah”) dan Khing But (“Buddha Biru Laut”).

 

7.

MASIH di sekitar aspek Islam dari peristiwa ini, dua hal lain juga terkait. Pertama apa yang oleh sementara orang dipandang sebagai kaitannya dengan peristiwa penghancuran Masjid Babri di India pada 1992. Dalam reaksinya terhadap penghancuran patung Budha oleh Taliban, Sheikh Malmoud Ashour, sarjana Muslim dari Universitas al-Azhar, Mesir, menyatakan bahwa hal ini dapat “memperlebar skisme antara kaum Muslim dan non-Muslim. Kaum Budha dan Hindu sekarang ini tengah marah kepada kaum Muslim, dan itu harus kita hindari.”

Pernyataannya bukan tak punya jejak: seorang jurubicara Taliban di AS, Sayed Rahmatullah Hashmi, dikutip BBC menyatakan bahwa penghancuran patung itu dilakukan sebagai aksi balas dendam terhadap penghancuran Masjid Babri di Ayodha oleh kalangan militan Hindu. Sementara itu, sebuah kelompok di India, bernama Bajrang Dal, seakan membenarkan nujumannya. Kepada India Today, Surinder, jurubicara kelompok itu, menyatakan, “Kaum Muslim di India dan di wilayah ini harus menghadapi akibat-akibat yang berat.” Dari segi ini, penghancuran patung Bamiyan membuka kembali lingkaran kekerasan atas dasar agama.

Hal kedua terkait dengan seruan para pemimpin Taliban agar kaum Muslim tidak terpengaruh oleh desakan-desakan internasional dan tuduhan mereka bahwa dunia lebih mementingkan benda seni daripada penderitaan warga Afghanistan. Sejauh saya ketahui, tidak ada pihak Muslim yang “ membeli” tawaran ini, atau sedikitnya secara terbuka. Saya tak tahu alasannya mengapa. Tapi kita bisa membayangkan sedikitnya dua alasan berikut.

Pertama, seperti banyak diberitakan, bantuan kemanusiaan itu ada, dan tidak sedikit. Yang lebih menjengkelkan, bantuan itu sering tak sampai ke pihak-pihak yang sesungguhnya paling membutuhkannya, karena kelompok-kelompok yang lebih perkasa di negeri itu merampasnya sebelum sampai ke tangan mereka. Kedua, apa pula kaitan antara ketiadaan sumbangan orang (yang pada prinsip akhirnya harus bersifat sukarela), kalau pun tak ada, dengan kesengajaan fanatik untuk menghancurkan patung-patung yang tak bersalah? Singkat kata, betapa pun kompleks persoalannya, imbauan Taliban pada akhirnya benbanding terbalik dengan klaim mereka sebagai penguasa yang harus menyejahterakan rakyatnya, sebagai pihak yang punya wewenang penuh untuk memaksa.

 

8.

SELAIN soal-soal yang terkait dengan Islam, penghancuran Taliban juga menambah signifikansi debat lama mengenai bagaimana warisan seni yang bernilai tinggi dipelihara. Di tahun-tahun terakhir, pertentangan pendapat yang ada mengarah kepada keunggulan posisi mereka yang berpandangan bahwa benda-benda seni sebaiknya berada di lokasi di mana mereka pertama kali dibuat dan sekarang masih berada, sekalipun terancam oleh satu atau lain krisis, dan bukan di museum-museum yang bisa menyimpannya dengan aman. Heroisme yang terkandung dalam pandangan ini begitu tinggi, menempatkan para kolektor pribadi dan museum-museum di Eropa dan Amerika dalam posisi defensif. Keunggulan itu juga memberi aura negatif kepada mereka yang hendak membeli benda-benda seni Asia yang penting, yang terancam musnah karena krisis akut seperti perang saudara. Beberapa negara Asia, termasuk Cina, menolak ekspor barang-barang antik.

Dalam hal ini, fatwa Taliban dan aksi mereka menghancurkan patung-patung Budha bisa jadi mengubah konstelasi perdebatan di atas. Dalam komentarnya atas kasus ini di jurnal Orientations, Marianne Yaldiz, Director Museum für Indische Kunst, Berlin, menulis: “Sebagai direktur sebuah museum dengan koleksi benda-benda seni dari Indo-Asia yang tidak sedikit, termasuk ratusan patung dari wilayah Gandhara, harus saya akui bahwa saya mulai mempertanyakan kebijakan kami, juga sebagian besar museum di Barat, untuk tidak membeli benda-benda seni dari negeri asalnya.”

Harus ditambahkan di sini bahwa, sebelum kemenangan Taliban, penjualan patung-patung Budha dan benda-benda seni lainnya dari Afghanistan sebenarnya sudah berlangsung. Nancy Dupree, yang bukunya mengenai Bamiyan diterbitkan oleh pemerintahan Afghanistan sedini tahun 1963, menyatakan bahwa hal itu berlangsung secara ilegal dan melibatkan pejabat-pejabat negara.

Sekarang, sesudah aksi penghancuran itu, aksi penjualan dan penyeludupan benda-benda seni makin merajalela. Dengan kata lain, Taliban telah memberi pukulan mematikan terhadap apa yang disebut heritage movement dalam gerakan kesenian, yang sebenarnya sudah lama digerogoti dan sekarat, sebuah paham bahwa karya-karya kuna seharusnya berada di negeri asal mereka.

Maka mari kita kuatir dengan ancaman kembalinya Taliban di Kabul. Mereka bisa membawa dua mudarat dengan sekali pukul: merusak peradaban lain, seraya mencemarkan nama baik Islam.***

 

Sumber: Madina (November 2009)

[wpfilebase tag=file id=48 /]