Pernyataan Sikap Terkait Pembubaran Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kuningan, Jawa Barat

Pernyataan Sikap Terkait Pembubaran Kegiatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kuningan, Jawa Barat

Jalsah Salanah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yang direncanakan berlangsung di Manislor, Kuningan, Jawa Barat, pada 6-8 Desember 2024, batal akibat tekanan aktor negara dan non-negara. Berdasarkan informasi para anggota JAI dan aktivis Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) di lokasi acara, kami melihat pengerahan aparat (polisi dan militer) serta anggota organisasi masyarakat melakukan intimidasi, persekusi, dan penutupan jalan, sebagai upaya mencegah anggota JAI memasuki lokasi acara. Di antara jemaat yang mendapat intimidasi tersebut adalah para lansia, perempuan, dan anak.

Semua bermula dari tekanan organisasi masyarakat yang mengatasnamakan Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (gabungan FPI, Persada 212, Pagar Akidah, dan beberapa kelompok kecil yang berafiliasi dengan mereka) kepada Pj. Bupati Kuningan, Agus Toyib, yang menuntut pembubaran Jalsah Salanah. Toyib mengamini permintaan itu dengan menyelenggarakan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), melibatkan Ketua DPRD Kabupaten Kuningan, Kapolres Kabupaten Kuningan, dan para tokoh masyarakat setempat, yang berbuah pelarangan tersebut.

PUSAD Paramadina sangat mengecam kejadian di atas dan menyatakan sikap sebagai berikut:

  1. PUSAD Paramadina mengecam perbuatan negara, dalam hal ini Bupati Kuningan dan aparatus di dalam Forkopimda, yang melarang dan membubarkan Jalsah Salanah JAI di Manislor, Kuningan.
  2. Perbuatan negara di tingkat pemerintahan daerah ini adalah suatu pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (KBB) adalah bagian dari HAM yang bersifat universal. Ia tak boleh dicabut dan dilanggar oleh siapa pun, apalagi menggunakan aparatus negara yang memiliki daya paksa (koersi) dan Pembatasan KBB hanya bisa berlaku jika dalam praktik beragama tersebut terdapat keselamatan manusia yang terancam; itu pun dengan syarat tak boleh ada hak KBB yang dilanggar. Dalam konteks Jalsah Salanah, negara seharusnya menjamin ragam ekspresi keagamaan dan perdebatan di warga negaranya, bukan justru membatasi apalagi melanggar.
  3. Aparat bersenjata seharusnya berpegang pada perspektif HAM di setiap kerja-kerja Perspektif ini memperluas pandangan yang berparadigma keamanan negara ke paradigma keamanan manusia, di mana keamanan manusia dan hak asasi yang melekat padanya harus dijunjung lebih tinggi dibandingkan dengan ketertiban dalam perspektif suatu negara. Dengan demikian, senjata aparat yang dibeli dan dirawat oleh uang pajak warga negara tidak diarahkan kepada warga negara, apalagi warga negara yang ingin menjalani ibadah menurut keyakinan dan kepercayaannya itu. Dalam konteks Jalsah Salanah, aparat seharusnya berpihak pada JAI sebagai kelompok paling lemah yang sedang terancam oleh kekuatan mayoritarianisme, bukan malah mendukung klaim intoleran kelompok yang mengklaim diri sebagai mayoritas dan menuruti tekanan mereka.
  4. Kami mendorong unsur-unsur masyarakat sipil dari lintas isu untuk bersolidaritas dalam membela hak beribadah JAI serta mengecam tindakan negara. Masyarakat sipil, terlepas dari isu yang dibicarakan dan ditanganinya, harus menjaga demokrasi dengan pelbagai cara dalam mendukung kelompok minoritas yang terancam kelompok intoleran atas nama mayoritarianisme, serta mengecam kelompok masyarakat lain yang menggunakan tangan negara untuk memenuhi kepentingannya sendiri sehingga mencederai demokrasi. Demokrasi harus selalu menjadi ruang di mana pelbagai ide dipertandingkan untuk mendapat persetujuan sebanyak mungkin masyarakat, tetapi tidak dengan cara meminjam tangan negara untuk melakukan kekerasan dalam menyingkirkan kelompok yang Demokrasi yang sehat akan menjadi ruang bagi masyarakat sipil lintas isu untuk memperjuangkan kepentingannya.

 

Jakarta, 6 Desember 2024

 

Narahubung: PUSAD Paramadina (+62 815-11-666-075))