Apakah Demokrasi Membawa Perdamaian?

Apakah Demokrasi Membawa Perdamaian?

Para teroritisi pendukung demokrasi menyebut demokrasi adalah agen perdamaian. Dengan menerapkan demokrasi, sebuah negara lebih condong pada perdamaian dan nirkekerasan tinimbang perang. Mereka mendaku bahwa demokrasi tidak berperang karena demokrasi berbagi kesamaan norma untuk hidup bersama, dan memiliki institusi domestik yang dapat menahan negara untuk berperang. Pada praktiknya, teori perdamaian demokratik menyediakan justifikasi intelektual untuk keyakinan yang menyimpulkan bahwa penyebaran demokrasi ke luar negeri akan membawa kebaikan pada keamanan nasional Amerika Serikat dan mendukung perdamaian dunia.

Pada diskusi Reading in Social Sciences (RISOS), Kamis, 20 Agustus 2015 mendiskusikan artikel dari Sebastian Rosato, The Flawed Logic of Democratic Peace Theory di Pusad Paramadina. Rosato menawarkan tinjauan pada teori perdamaian demokratik dengan menelaah logika kausal yang mendasari teori tersebut yang menjelaskan mengapa demokrasi tidak berperang. Pertanyaan besarnya adalah, apakah terdapat data yang memadai untuk menyokong dakuan demokrasi tidak berkelahi sendiri? Apakah terdapat penjelasan yang memadai untuk dakuan tersebut? Terdapat dua strategi yang diambil oleh Rosato dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Rosato melihat sejauh mana kesesuaian logika kausal dalam teori perdamaian demokrasi. Pertama, ia menguji apakah data yang tersedia menyokong dakuan bahwa A menyebabkan x, x menyebabkan y, dan y menyebabkan B? Kedua, ia menggunakan logika tersebut untuk menguji proposisi lain yang dapat dibuktikan untuk melihat bagaimana demokrasi memengaruhi perilaku sebuah negara. Rosato berpendapat bahwa apabila logika kausal dapat dibuktikan maka proposisi lain juga pasti benar.

Bertopang pada data sejarah perang dalam negara demokrasi maupun negara otokrasi, Rosato menyimpulkan bahwa logika kausal yang mendasari teori perdamaian demokratik tidak dapat menjelaskan mengapa negara demokrasi menjaga perdamaian karena mekanisme yang menjabarkan teori ini tidak beroperasi sebagaimana diinginkan teori tersebut. Pada tataran logika normatif, demokrasi liberal tidak dapat diandalkan untuk resolusi konflik ketika mereka memiliki konflik kepentingan. Dalam logika institusional, para pemimpin demokratik juga tidak akuntabel di hadapan publik pecinta perdamaian, atau kelompok pasifis. Demokrasi juga terbukti tidak lambat dalam memobilisasi serangan dan mampu menghadapi serangan tiba-tiba. Kompetisi politik terbuka juga tidak menjamin demokrasi akan membuka informasi dalam penanggulangannya.

Meskipun demikian, Rosato menemukan bahwa teori perdamaian demokratik sesuai dengan kondisi pasca perang dunia dua. Hal ini dikarenakan perdamaian demokratik adalah fenomena pasca-1945 terbatas pada Amerika dan Eropa Barat. Kedua, Amerika Serikat telah menjadi negara dominan di kawasan tersebut dan memberi penekanan mengenai perdamaian. Bukti empirik dari teori perdamaian demokratik hanya dapat ditemukan pada kondisi global pasca-1945 dikarenakan tiga alasan. Satu, hanya ada sedikit negara demokrasi sebelum perang dunia kedua, dan lebih sedikit lagi jumlah negara demokrasi yang berada pada kondisi yang memungkinkan mereka saling memerangi. Dua, negara-negara demokrasi pra-perang dunia dua terbukti lebih damai setelah perang dunia dua. Ketiga, para ahli tidak bersepakat atas apa yang dimaksud dengan negara demokrasi pada masa lalu, dan dengan demikian, akan lebih sulit lagi untuk menentukan apakah perang yang terjadi di suatu kawasan adalah perang antar negara demokrasi atau bukan.

Para peserta diskusi menganggap temuan ini penting karena memberi pelajaran mengenai pengujian tesis/hipotesis. Saat melihat satu tesis/hipotesis, kita melihat logika yang mendasarinya, dan mengujinya dengan bukti-bukti empirik. Hal ini bisa kita terapkan pada, misalnya, tesis bahwa Jawa Barat adalah hot bed untuk radikalisme, atau bahwa Jawa Barat adalah provinsi paling intoleran di Indonesia. Kita periksa logika yang mendasarinya dengan bukti-bukti empirik untuk menemukan sejauh mana kebenaran dalam tesis tersebut. ***