Artikulasi Pembaharuan Nurcholish Madjid: Kekuatan dan Batas-batasnya

Artikulasi Pembaharuan Nurcholish Madjid: Kekuatan dan Batas-batasnya

Ihsan Ali-Fauzi

Mei ini Keluarga Besar Yayasan Paramadina memperingati 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana sebaiknya menaksir gagasan dan gerbong pembaruan yang ditariknya? Mengapa pesan besar yang ia sampaikan kedodoran belakangan ini?

Seraya meminjam dari sosiolog Robert Wuthnow, saya ingin melihat pembaruan sebagai produk budaya yang ditawarkan di dalam konteks sosial, ekonomi, dan politik tertentu. Kekuatannya terletak pada kemampuannya menyatroni sekaligus mengatasi konteks terdekat itu. Daya panggilnya kedodoran belakangan ini, saya kira, karena konteks yang berubah. Dus mungkin juga dibutuhkan warna panggilan pembaruan yang lain

Artikulasi

Wuthnow punya penjelasan menarik mengenai bagaimana produk budaya, termasuk ide yang ditawarkan sang produsen seperti Cak Nur, membawa perubahan sosial. Dalam Communities of Discourses (1989), ia menolak determinisme, baik ide/budaya ala Weber maupun kelas/ekonomi ala Marx. Sebaliknya, katanya, ”Saya lebih menekankan pada cara di mana ekspansi ekonomi berinteraksi dengan penataan institusi baru, yang pada gilirannya menstrukturkan konteks di mana para produsen [budaya] dan audiensnya berjumpa.” Di sini ekonomi penting, tapi secara tak langsung dan tak niscaya. Juga institusi yang tumbuh bersama ekspansi ekonomi. Yang krusial adalah bagaimana si produsen budaya mengelola resources yang tersedia akibat perjumpaan kedua faktor di atas.

Wuthnow juga menyatakan produk budaya yang besar selalu lahir dari pergulatan dinamis dan kreatif dengan lingkungan terdekatnya. Karya-karya itu tidak hanya memberi respons terhadap zamannya, tetapi sekaligus melampauinya. Katanya: ”They draw resources, insights, and inspiration from that environment: they reflect it, speak to it, and make themselves relevant to it. And yet they also remain autonomous enough from their social environment to acquire broader, even universal and timeless appeal.”

Kata Wuthnow, ini ”masalah artikulasi”. Tulisnya, ”Jika produk budaya tidak cukup menyantuni, tidak cukup nyambung dengan setting sosialnya, ia kemungkinan besar akan dipandang audiens potensialnya … sebagai tak relevan, tidak realistik, artifisial, dan amat abstrak, atau—lebih buruk lagi—para produsennya akan kecil kemungkinan memperoleh dukungan yang diperlukan untuk terus berkarya. Namun, jika produk budaya melulu ditujukan hanya menyantuni lingkungan sosial terdekatnya itu, mungkin sekali ia akan dipandang terlalu esoterik, parokial, terikat waktu, dan gagal menyedot perhatian audiens yang lebih luas dan dalam rentang waktu lebih panjang.”

Dekat, tapi tak melekat

Kerangka di atas dapat membantu kita menaksir kekuatan dan batas-batas gerbong pembaruan Cak Nur. Mari melihat teks dan konteksnya.

Teks terbaik adalah pidato Cak Nur yang menghebohkan itu, ”Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” (1970). Inilah teks paling autentik produk Cak Nur. Yang lainnya, bagi saya, adalah catatan kaki, eksplorasi lebih jauh, atau kamuflase yang ia pandang penting untuk berdakwah. Bahwa teks itu menjadi produk publik secara tak disengaja, itu hanya menambah autentisitasnya.

Dalam teks ”proklamasi” pembaruan itu, Cak Nur mulai dengan menandaskan bahwa Islam di Indonesia sedang stagnan. Kaum Muslim menghadapi pilihan kritis: jalan pembaruan, yang meniscayakan peninjauan kembali makna Islam di dunia modern, dengan ongkos integrasi umat; atau pemeliharaan integrasi itu, dengan konsekuensi terus jumudnya pemikiran Islam dan hilangnya daya Islam sebagai moral force. Ia memilih jalur pembaruan, dan di ujung tulisannya ia mengusulkan proses liberalisasi berdimensi empat: sekularisasi, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Kekuatan gagasan itu adalah karena ia, meminjam Wuthnow, dekat tapi tak melekat dengan konteks terdekatnya. Pada tahun 1970-an dan sepanjang Orde Baru gagasan-gagasan itu nyambung dengan lingkungannya. Dalam teks di atas wakil terbaiknya adalah gagasan ”Islam Yes, Partai Islam No!” Penting diingat: Cak Nur tidak mengharamkan partai Islam. Yang ia katakan adalah bahwa partai Islam tidak niscaya merupakan wakil Islam; bagi seorang Muslim, mendukung partai Islam bukanlah sesuatu yang wajib.

Gagasan itu bergema di hati kelas menengah Muslim santri yang tertarik dengan panggilan Cak Nur untuk ”berdamai” dengan rezim—sebagian mereka malah berada di dalam rezim itu sendiri. Mereka ingin luar-dalam mencicipi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 6-8 persen per tahun, dengan ogah mengikuti garis Islam ”skripturalis”. Gara-gara gagasan Cak Nur itu, umat Islam tidak lagi merasa, meminjam Taufik Abdullah, ”Ahl Dzimmah di negeri mayoritas Muslim”. Yang juga tertarik menjadi audiens dan kemudian pendukung Cak Nur adalah kaum non-Muslim, juga nonsantri, yang merasa memperoleh semacam perlindungan dari ancaman Islam ”skripturalis”.

Gagasan itu juga sejalan dengan tumbuhnya institusi-institusi baru di dalam ataupun di luar rezim. Di dalam rezim ada kebijakan penciutan partai politik, program kerukunan umat beragama, dan lainnya, yang paralel dengan gagasan Cak Nur. Di luar rezim berlangsung Islamisasi yang secara umum terjadi di kota-kota besar (masjid atau musala di kantor-kantor, dsb). Generasi Muslim baru tumbuh, diwakili dengan baik oleh Cak Nur sendiri, yang harus ditampung dan ikut memainkan peran di dalam panggung yang lebih lebar: ”Indonesia”.

Harus juga disebutkan bahwa gagasan itu kukuh karena figur si pembawa gerbong. Latar pendidikan dan organisasi Cak Nur turut menopang substansi panggilannya. Ia dengan baik menguasai khazanah Islam, tetapi juga akrab dengan wacana modern. Ia kuat dalam lisan dan tulis. Lagi pun kepribadiannya yang santun, sederhana, dan jauh dari arogan membuatnya sulit diserang lawan-lawannya. Sebagai pembawa bendera, ia amat kredibel!

Namun, gagasan pembaruan juga timeless enough dan mengatasi kebutuhan jangka pendek masanya. Dalam teks di atas sisi yang lebih universal dan tahan lama ini kita temukan dalam panggilannya kepada sekularisasi (belakangan dilunakkan menjadi desakralisasi) sebagai realisasi tawhid, kebebasan intelektual, the idea of progress, dan keterbukaan.

Cak Nur menawarkan topangan Islam bagi tumbuhnya Indonesia yang modern dan partisipasi penuh umat Islam di dalamnya. Alih-alih menjadikan paham-paham di atas sebagai momok bagi Islam seperti umum dikenal sebelumnya, ia malah memandangnya sebagai bagian integral dari Islam yang modern dan menjanjikan. Dan yang lebih penting, bagi kalangan non-Muslim dan nonsantri, sokongan pembaruan atas paham-paham di atas memberi jaminan keislaman bahwa pluralisme Indonesia akan terus ditegakkan. Tidak heran jika, seperti sering diceritakan Cak Nur sendiri, pihak yang paling antusias menyambut proklamasi pembaruan adalah kalangan sekular Indonesia, seperti diwakili harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Kami

Pada tingkat praktis, gagasan-gagasan yang timeless di atas menjadikan Cak Nur tidak enggan berseberangan dengan pemerintah, yang beberapa kebijakannya turut menguntungkannya. Pada 1971 dan 1977, misalnya, dalam rangka demokratisasi dan balancing-power politics, ia mendukung PPP. Baginya, ini penting dalam rangka ”memompa ban kempis” untuk menyeimbangi Golkar (pemerintah). Belakangan juga kita tahu bahwa Cak Nur menjadi salah seorang pionir dalam pengembangan budaya oposisi dan keterbukaan: ia terlibat dalam pembentukan KIPP, demokratisasi secara damai, dan seterusnya. Aliansi Cak Nur dengan banyak aktivis LSM berawal dari sini.

Ringkasnya, memarafrasekan Wuthnow, Cak Nur itu ”memanfaatkan sumber daya, ilham, inspirasi dari lingkungan terdekatnya: ia merefleksikannya, bicara kepadanya, menjadikan dirinya relevan dengannya. Namun, ia juga tetap cukup otonom dari lingkungan sosial terdekatnya itu sehingga ia bisa mewartakan seruan-seruan yang lebih luas, lebih universal, dan abadi.”

Pembaruan ditentang

Sekarang kita melihat bahwa formalisasi Islam, yang ditentang Cak Nur, menguat. Ada fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, misalnya. Juga kini tumbuh perda-perda syariat yang menggerogoti pesan-pesan universal Cak Nur. Bagaimana kita memaknai gejala ini?

Meminjam Wuthnow, kita harus menyebut beberapa kemungkinan. Pertama, konteks sosial, ekonomi, dan politik sekarang sudah berubah. Sekitar sepuluh tahun lalu (1996) Indonesianis R William Liddle menulis mengenai perseteruan antara kubu Cak Nur dan lawannya. Katanya, ”Optimisme saya [mengenai kemenangan kaum substansialis] berkurang karena pengakuan saya akan konteks sosial, ekonomi, dan terutama politik di mana kreativitas kaum substansialis berlangsung. Sebab … mereka diuntungkan konteks itu, dan dalam beberapa hal secara sadar telah memanfaatkannya untuk memperkuat posisi mereka. Juga jelas bahwa wilayah bermain yang tersedia sudah secara sengaja didesain untuk melemahkan posisi para pemikir dan aktivis Islam yang lain, khususnya kelompok skripturalis.” Konteks yang dimaksud Liddle adalah berbagai kebijakan dan langkah pemerintah Orde Baru yang, seperti saya kemukakan di atas, langsung ataupun tidak langsung menguntungkan posisi kaum substansialis.

Kini situasinya berubah. Semua orang di atas kertas kini bebas bicara dan berorganisasi. Dalam situasi seperti ini, demikian Liddle, ada tiga faktor yang membuat gagasan pembaruan memperoleh tantangan besar: (1) ajaran-ajaran kaum skripturalis yang lebih mudah diterima sebagian besar kaum Muslim; (2) kemungkinan aliansi politik kaum skripturalis dengan kelompok-kelompok sosial lain yang sedang tumbuh; dan (3) nafsu besar para politisi ambisius untuk membangun basis massa.

Saya kira ketiga faktor di atas cukup menjelaskan mengapa formalisasi Islam bergaung kencang belakangan ini. Mungkin kita perlu menambahkan beberapa faktor lain. Yang terpenting adalah ekonomi yang belum juga pulih.

Dalam khazanah ilmu sosial ada banyak penjelasan mengenai bagaimana deprivasi ekonomi dan alienasi psikologis akibat urbanisasi membuat orang cepat tertarik kepada ajaran yang serba mudah dan mengklaim serbabisa, seperti diwakili slogan ”Islam is the solution”. Impitan ekonomi, kepenatan pikiran dan jiwa membuat orang enggan mengunyah tawaran pikiran yang agak canggih Lagi pula, setelah sepuluh tahun reformasi, kita juga terus menyaksikan sebuah negara yang lembek sehingga tidak bisa memerintah dengan memadai.

Aliansi faktor-faktor ini memungkinkan kita untuk mengerti mengapa Jemaah Ahmadiyah di negeri yang katanya menjamin hak-hak asasi ini dikoyok-koyok seperti orang berpenyakit lepra. Dan di tengah-tengah keruntuhannya, alih-alih memberi perlindungan kepada mereka, seorang pejabat tinggi malah meminta mereka untuk tobat. Bukankah ini cermin tindakan politisi ambisius memancing di air keruh? Seakan mereka tidak mengerti bahwa di belahan dunia lain kaum Muslim adalah kelompok minoritas yang bisa diperlakukan seperti itu.

Para penerus Cak Nur sendiri perlu introspeksi diri. Gerbong pembaruan mungkin kurang baik mereka kelola. Mereka kurang berhasil mengeksploitasi resources yang ada untuk memperkuat gerbong itu dan menariknya lebih kencang. Sementara itu, sang penarik gerbong sendiri sulit digantikan, sedangkan para penerusnya gagal melembagakannya.

Peluang baru

Jika faktor-faktor di atas diperhatikan, mestinya tantangan terhadap gagasan pembaruan Cak Nur belakangan ini sudah bisa diantisipasi. Hal itu harus dihadapi sebagai akibat sampingan dari proses demokratisasi yang ikut diperjuangkan almarhum. Hak kaum Muslim ”skripturalis” untuk berbicara, berkelompok, dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik adalah bagian integral dari kebebasan yang juga diperjuangkan almarhum. Sejauh kekerasan tidak digunakan, kita bahkan wajib membela hak-hak itu. Jika sebaliknya yang terjadi, kita harus mendesak pemerintah untuk menjalankan kewajiban pokoknya: ya, memerintah, to govern! Jika tidak, ini bukanlah sebuah negeri, apalagi negeri yang besar, melainkan sebuah hutan rimba.

Dalam konteks yang berubah ini, para penerus Cak Nur harus terus mengusahakan agar gagasan almarhum yang timeless dan universal terus bergema. Bukan karena kita ingin romantis, setia pada almarhum, tapi karena kita sebagai bangsa majemuk membutuhkannya. Sulit dibayangkan bahwa Indonesia akan bisa terus berdiri jika prinsip keterbukaan, kebebasan, dan pluralisme terus digerogoti. Sikap mundur dari prinsip ini akan merupakan kehilangan besar.

Di sini kaum Muslim ”skripturalis” berguna sebagai sparring partners. Sebisa mungkin komunikasi dengan mereka harus tetap dibuka. Kita sudah terlalu sering bicara dengan keluarga besar kita sendiri, preaching the converted! Seraya mempertajam gagasan-gagasan kita sendiri, kepada para penganjur perda syariat, misalnya, kita harus terus bertanya: bagaimana perda-perda itu akan dijalankan di tingkat praktis? Tugas apa lagi yang hendak dibebankan kepada polisi, yang sekarang saja sudah keteteran menjalankan kerjaannya? Jika seseorang tidak salat atau pacaran yang ditentang syariat tetapi tidak ketahuan, siapa yang bertanggung jawab? Bukankah perda-perda syariat dimaksudkan untuk memata-matai iman seseorang?

Akan halnya dengan gagasan-gagasan Cak Nur yang dimaksudkan untuk menyatroni konteks terdekatnya, kita mungkin harus memikirkan kembali relevansinya. Kadang saya merasa bahwa Cak Nur terlalu mekanis mengaitkan naiknya kelas menengah Muslim dengan bangkitnya etos Islam yang antikorupsi, misalnya. Juga tampak terlalu mekanis untuk menyatakan bahwa Islamisasi bahasa dalam sebutan Majlis Permusyawaratan Rakyat (yang semuanya berasal dari kata Arab) sejalan dengan Islamisasi si penghuni bangunan MPR. Selain itu, menyandarkan demokratisasi pada kelas menengah yang digaji (salaried middle-class), yang tidak otonom seperti saudara-saudara mereka di Eropa dua abad lalu, juga terbukti amat riskan.

Agar bisa menyatroni audiensnya sekarang, gagasan dan gerbong pembaruan harus lebih tanggap terhadap kesulitan ekonomi yang menerpa banyak orang belakangan ini. Juga terhadap dislokasi psikologis akibat gempuran urbanisasi dan globalisasi yang kadang dirasakan melawan rasa keadilan umum. Semuanya ini dapat dan harus dilakukan tanpa kita mengorbankan pesan-pesan abadi pembaruan.

Tanpa itu, gagasan pembaruan akan dianggap oleh para audiens terdekatnya sebagai tidak relevan, mengawang-awang. Gerbongnya hanya akan diisi oleh audiens-audiens yang tua, menjadikan gerbong itu hanya berjalan lambat dan tertatih-tatih. Peluit keretanya tidak akan disongsong para penumpang baru yang energik, pemilik sesungguhnya masa depan.

Sumber publikasi: Kompas, 8 Mei 2008