Ashoka, Penggagas Pluralisme India

Ashoka, Penggagas Pluralisme India

Ashoka, raja Maurya yang memerintah sejak tahun 269-232 SM dikenang salah satu raja yang gemilang dalam sejarah India. Kumpulan titahnya yang terkenal mengandung nilai-nilai kemanusiaan adiluhung yang masih relevan untuk direnungkan hari ini. Namun, titahnya yang paling monumental adalah mengenai pluralisme di antara para penganut agama-agama yang berbeda. Begitulah paruh pertama ceramah dari Rajeev Barghava yang disaksikan saat diskusi pada hari Kamis, 11 Juni 2015 di aula kantor Pusad Paramadina. Pada Titah Ketujuh, paduka raja bersabda,

Baginda Devanampiyadasi (gelar dari Ashoka) berkehendak semua agama ada di mana saja, sebab semua menghendaki pengendalian diri dan kemurnian hati.

Baginda Devanampiyadasi menghormati para pertapa dan pemangku rumah tangga dari semua agama, dan ia menghormati mereka dengan berbagai anugerah dan kehormatan. Tapi Baginda tak menghargai anugerah dan kehormatan sebagaimana ia menghargai ini: ketika orang menumbuhkan apa yang hakiki dalam agama. Orang menumbuhkannya dengan cara yang berbeda-beda, namun semuanya berakar pada pengendalian diri dalam bicara, baik ketika memuji-muji agama sendiri, ataupun ketika mengecam agama orang lain. Siapa pun yang memuji agamanya sendiri, karena kebaktiannya yang sungguh-sungguh, dan mengecam agama lain dengan niat “Biar kuagungkan agamaku sendiri”, hanya akan melukai agama sendiri. Orang harus mendengarkan dan menghargai keyakinan yang dipeluk orang lain. Baginda Piyadasi ingin agar semua orang belajar bersungguh-sungguh ajaran yang baik dalam agama lain.[1]

Rajeev menjelaskan bahwa di masa kepemimpinan Ashoka, terjadi perubahan kondisi sosial di India. Keyakinan akan kehidupan hanya sekali bergeser, pun praktek-praktek pengorbanan mulai luntur maknanya, dengan begitu, mereka memerlukan ikatan yang lebih erat dengan sesama manusia lain. “Manusia tak sempurna, dan jalan memperkaya diri adalah dengan berdialog antara satu dengan lainnya, sepanjang waktu,” ucap Rajeev. Ia juga menekankan pentingnya memiliki common ground, basis yang sama yang dapat mengikat seluruh manusia dalam kesetiakawanan.

Irsyad, Pradewi, Fitriana dan Ali Nursahid sepakat bahwa nilai yang terkandung dalam titah tersebut relevan hingga kini. Di hari-hari yang kian bising dengan tudingan sesat, dan kafir, di antara para penganut agama yang mendewakan alirannya, barangkali kita perlu duduk sejenak dan mempertimbangkan sabda Ashoka dan bertanya, apa yang dapat menjadi basis dan mengikat kita dalam kesetiakawanan?

Kemanusiaan barangkali hal yang dapat menyatukan kita semua, tapi pada prakteknya, sebagian orang merasa sebagian lain dapat dikurangi kadar kemanusiaannya. Dalam gerakan-gerakan yang bertujuan untuk menentang penganut agama lain, kita kerap melihat kampanye-kampanye yang mengurangi kadar kemanusiaan dari kelompok lain. Yang Lain menjadi tak ubahnya hanya bayang-bayang, ada untuk mengancam keberadaan dirinya. Praktek apa yang perlu kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari dalam menghadang perilaku yang tak menahan bicara seperti itu? Dapatkah kita berdialog dengan orang yang hanya ingin berhadapan dengan pelantang dan mendengarkan dirinya sendiri?

Pertanyaan itu belum juga terjawab hingga akhir persuaan. Barangkali, dalam diskusi berikutnya, pada paruh kedua ceramah Rajeev Barghava kita akan menemukan jawaban.

Studying English Documentaries and Pluralism (SEDAP) merupakan kelas dwi-mingguan yang membincang isu pluralisme dan kemanusiaan dalam video pendek dengan pengantar Bahasa Inggris. Selain meningkatkan wawasan pluralisme, program ini juga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam berkomunikasi dengan bahasa Inggris.

[1] Dikutip dari Goenawan Mohamad, “Piyadasi” kolom Catatan Pinggir dalam Majalah Tempo, 8 Juni 2015.