Berbagi Peran, Kunci Kerjasama Polisi – Masyarakat Sipil

Berbagi Peran, Kunci Kerjasama Polisi – Masyarakat Sipil

 

Kebebasan beragama di Cirebon tidak lepas dari berbagai tantangan. Dua tantangan kebebasan beragama paling menonjol di Cirebon, konflik aliran keagamaan dan pendirian rumah ibadah. Demikian diutarakan Nurul Huda, Direktur Eksekutif Fahmina, Cirebon, dalam sambutannya pada acara Workshop dan Fasilitasi, Rabu-Kamis, 20-21 Februari 2013 di Hotel Amaris, Kota Cirebon.

Lalu bagaimana menghadapi dan menyikapi tantangan tersebut? Inilah alasan kenapa, lanjutnya, hari ini (20/02), Fahmina, bekerjasama dengan PUSAD-Paramadina dan MPRK-UGM, mengundang polisi dan perwakilan masyarakat sipil dari Kota dan Kabupten Cirebon. “Kerjasama polisi dan masyarakat sipil diharapkan menjadi kunci terbinanya damai di Cirebon, Kota maupun Kabupeten,” imbuhnya.

Upaya ini, menurut Ihsan Ali-Fauzi, sebagai upaya mempertemukan kedua belah pihak agar bisa bicara terbuka dan kritis. Keterbukaan kedua belah pihak, menurut Direktur PUSAD Paramadina ini, memungkinkan keduanya mengetahui tugas dan fungsi masing-masing. Sehingga, menurutnya, di akhir sesi pertemuan ini diharapkan muncul kesepakatan kerjasama dalam rangka bina damai.

 

Keranjang Sampah

Yoyoh Indayah, Wakil Direktur Bimbingan Masyarakat, Polda Jawa Barat, mengeluhkan posisi Polri yang selalu dianggap sebagai keranjang sampah. Jika konflik sudah menimbulkan korban, menurutnya, lalu polisi disalahkan. Seakan-akan polisi, lanjutnya, keranjang yang siap menampung sampah-sampah konflik. Padahal, menurutnya, konflik keagamaan bukan hanya urusan polisi.

Meski begitu, menurut mantan Kapolres Kuningan ini, Polri akan tetap bekerja memberi rasa aman kepada warga negara, siapapun dan di manapun berada. Salah satu upaya Polri, imbuhnya, mengaktifkan Babinkamtibmas. Babinkamtibmas diharapkan menjadi ujung tombak kepolisian dalam mendeteksi sedini mungkin potensi konflik.

Lalu bagaimana dengan netralitas polisi? Pertanyaan ini, menurutnya, seringkali masyarakat lontarkan. Mengenai netralitas sudah diatur dalam UU no. 2 tahun 2002. Polisi di mana pun, ujarnya, merujuk pada UU tersebut. Namun, ia mengingatkan bahwa polisi bukan malaikat yang tidak mungkin keliru.

Itulah sebabnya ia menyambut baik upaya Fahmina dan PUSAD Paramadina mempertemukan polisi dan masyarakat sipil untuk mencari solusi bersama. Menurutnya, polisi tidak bisa bekerja sendiri. Begitu juga sebaliknya, masyarakat juga pada titik tertentu membutuhkan polisi.

 

Berbagi Peran

Apa kunci keberhasilan Anda dalam menangani konflik di Manis Lor tahun 2010? Kuncinya, menurut Yoyoh, adalah polisi harus bisa merumuskan SOP serinci mungkin. SOP yang rinci memudahkan polisi akan melakukan apa, di titik mana, dan pada saat apa. SOP yang rinci juga memudahkan pimpinan mengontrol situasi.

Marzuki Rais, peserta dari Banser NU, memberi catatan. Di lapangan, menurutnya, polisi cenderung membiarkan aksi kelompok intoleran. Misalanya, ketika mereka ingin menutup rumah ibadah, dalam koteks ini gereja. Banser turun tangan karena polisi membiarkannya. Tentu saja, lanjutnya, persoalan rumah ibadah ini bukan hanya urusan polisi. “Tetapi jika sekelompok orang bertindak inkonstitusional, kepada siapa lagi masyarakat mengadu kalau bukan kepada polisi,” imbuhnya.

Menjawab Marzuki, Yoyoh menegaskan pentingnya berbagi peran antara polisi dan masyarakat sipil. Menurutnya berbagi peran adalah kunci kerjasama. Polisi bersama masyarakat sipil, lanjutnya, harus saling menginformasikan situasi dan masalahnya untuk mencari solusi bersama. Tidak lebih daripada itu. Siapapun yang berusaha mengambil-alih tugas polisi, misalnya dengan melakukan aksi kekerasan, polisi akan menindaknya.

 

Butir-butir Kerjasama

Setelah kedua belah pihak—polisi dan masyarakat sipil—menguatarakan keluh kesahnya, Samsu Rizal Panggabean, fasilitator dari MPRK – UGM,  mengajak forum untuk mendiskusikan model kerjasama apa yang mesti dikembangkan di Cirebon. Diskusi yang berlangsung sekitar empat jam itu menyepakati lima ide pokok. Pertama, komunikasi. Komunikasi antara polisi dan masyarakat sipil yang berkelanjutan menjadi kunci keberhasilan kerjasama. Komunikasi kedua belah pihak bisa meminimalisir kesalingcurigaan.

Kedua, berbagi tugas. Baik polisi maupun masyarakat sipil harus berbagi tugas setiap kali ada potensi konflik muncul. Ketiga, kerjasama pencegahan. Masyarakat menginformasikan potensi konflik kepada polisi. Lalu polisi harus merespons dan bekerjasama dengan masyarakat sipil untuk meredamnya sejak dini.

Keempat, saling mendekat satu sama lain. Kedua belah pihak, baik polisi maupun masyarakat sipil, tidak boleh sungkan saling mendekati satu sama lain. Dengan begitu, polisi akan merasa memperoleh dukungan dari masyarakat. Begitu juga sebaliknya, masyarakat bisa merasakan kehadiran polisi di tengah-tengah mereka. Terkahir, kerjasama polisi dan masyarakat sipil ini harus melibatkan Pemerintah Daerah. Konflik, sebagaimana diutarkan Yoyoh, bukan hanya urusan polisi melainkan pemerintah secara keseluruhan.

Atas dasar kesepakatan ini, peserta yang terdiri dari polisi dan masyarakat sipil merencang berbagai kegiatan bersama. Di antaranya, mereka akan membentuk COP lintas Iman. Selain itu, mereka akan mengadakan pertemuan bulanan sebagai ruang saling berkoordinasi satu sama lain. Selain itu, mereka juga menyepakati untuk saling melibatkan satu sama lain dalam kegiatan masing-masing sebagai wujud kerjasama untuk bina damai di Cirebon. [HM]