Bercermin pada Yang Sakral

Bercermin pada Yang Sakral

Di penghujung Nurcholish Madjid Memorial Lecture di Jakarta, Chaiwat Satha-Anand menyinggung bahwa cara pandang umat Muslim terhadap yang sakral dan yang duniawi itu dapat menjelaskan kiprah mereka dalam politik. Poin ini diulas lebih jauh pada NMML di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada 8 Oktober 2015, yang merupakan bagian dari peringatan 15 tahun Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS), UGM. Tak sedikit peneliti senior dan kolega dekat Chaiwat yang hadir mengikuti kuliahnya.

Chaiwat melihat bahwa berbagai peristiwa perusakan tempat ibadat di seluruh dunia, di mana umat Muslim menjadi korban sekaligus pelakunya, telah menandai pergeseran pandangan mengenai yang sakral. Kontras dengan dulu, di mana tempat atau simbol suci biasanya menjadi penanda berhentinya kekerasan. Dia khawatir gejala ini bukan hanya soal sengketa rumah ibadat saja, tetapi menyangkut kiprah umat Muslim dalam politik yang lebih luas.

Selama ini yang sakral seringkali luput dalam studi-studi mengenai politik Muslim, kata Chaiwat. Padahal, dan ini poin utama kuliahnya, politik Muslim hanya dapat dipahami jika kita paham betul bagaimana mereka “memandang diri dan iman mereka pada Ilahi dalam kaitannya dengan yang duniawi.” Untuk itu, kata Chaiwat, kita perlu menelusuri yang sakral dalam bayangan Muslim, dan mendudukkannya secara tepat.

Bagaimana yang sakral menempati bayangan Muslim? Jawabannya tentu berlimpah, tapi Chaiwat menggarisbawahi dua modus. Pertama, mengutip Barbara Ehrenreich, yang sakral bisa membuat orang “membabi buta” dalam “membelanya,” bahkan sampai membumihanguskan apa pun yang dianggap menandinginya. Kedua, khas para mistikus, yang sakral membuat para pemujanya “lupa diri” seperti cahaya api yang melalap laron di malam hari. Chaiwat tidak puas dengan kedua modus ini karena sama sekali tidak menyisakan ruang bagi permenungan.

Lantas bagaimana agar permenungan tentang yang sakral, yang duniawi, dan Muslim sebagai aktor politiknya menjadi mungkin? Jawabannya sama berlimpahnya, mulai dari wahyu, falsafah hingga mistisme. Tapi agar permenungan tidak membahayakan, menurutnya yang sakral mesti diletakkan terlebih dahulu secara seksama. Yang paling tepat kata Chaiwat adalah di dalam cermin.

Seperti belum puas membuat hadirin tercenung, Chaiwat menarik cermin besar ke tengah auditorium, lalu sembunyi dibaliknya. “Apa yang anda lihat dan pikirkan ketika bercermin?” “Orang yang bercermin selalu datang dengan pertanyaan tentang diri dan persepsi dunia terhadap dirinya,” kata Chaiwat, “dan cermin tak pernah bohong.” Jika yang sakral diletakkan di dalam cermin, orang beriman di hadapannya dapat terhubung secara khidmat tanpa harus kehilangan kemampuan untuk bertanya. Hal ini akan mengubah caranya berhubungan dengan orang lain dan dunia.

Hadirin yang sebelumnya duduk tenang jadi berebut minta diberi kesempatan bertanya ketika sesi tanya jawab dibuka oleh Iqbal Ahnaf dari CRCS UGM. Diskusi lebih hidup karena Chaiwat menjawab satu per satu pertanyaan secara langsung tanpa menunggu beberapa pertanyaan tertampung seperti seminar-seminar lain. “Saya lebih suka begini karena lebih kelihatan seperti percakapan betulan,” kata Chaiwat.

Seorang mahasiswi dari Universitas Islam Negeri Yogyakarta mengajukan pertanyaan yang cukup pelik. “Bagaimana mungkin kita dapat berjarak dengan yang sakral jika Al-Quran sendiri menyatakan bahwa Dia lebih dekat dari urat leher kita?” Yayah Khisbiyah dari Universitas Muhammadiyah Surakarta menyangsikan jika kita dapat melihat sesuatu secara terang dan apa adanya, karena identitas diri, realitas sosial, dan apalagi yang sakral, adalah sesuatu yang sangat kabur dan sulit didefinisikan.

Martin Sinaga dari Sekolah Tinggi Teologi Jakarta menganggap Chaiwat terlalu fokus pada yang sakral sebagai faktor kekerasan dan luput melihat faktor lainnya seperti dendam, trauma, keadaan ekonomi politik dan sebagainya. Sementara Robert Hefner dari Universitas Boston meminta Chaiwat mengelaborasi lagi bagaimana Muslim menyandingkan pengetahuan tentang yang sakral dengan pengetahuan tentang dunia.

Chaiwat mengakui sulit sekali membayangkan jarak antara yang sakral dan manusia. Tapi dia tetap berharap dengan cermin, kita bisa melihat dan mengapresiasi dunia sambil terus bertanya. Bayangkan saja seperti kita berdoa memohon petunjuk-Nya sepanjang waktu. Itu memang tidak mudah, betul kata Yayah, tapi tidak mustahil.

Contoh terbaik menurut Chaiwat adalah pengalaman pewahyuan Muhammad yang masih sempat bertanya-tanya ketika Jibril memintanya membaca. Ketakjubannya tidak menjadi akhir kehidupan duniawinya. Dia tetap melanjutkan kehidupannya, namun dengan makna dan pandangan yang baru, seolah terlahir kembali.

Sementara terhadap Martin dan Robert, Chaiwat hanya menyampaikan dua cerita: tentang seorang ibu di Thailand Selatan yang tak mendendam meski kehilangan semua sanak saudaranya, dan seorang pemuda yang mendapatkan kembali keyakinan agamanya yang nirkekerasan setelah sempat putus asa karena konflik agama.

Perasaan-perasaan semacam itu menurut Chaiwat muncul dari pengalaman bercermin, dan itu akan membantu jika dicamkan sungguh-sungguh ketika berhadapan dengan konflik. Ibu itu, misalnya, tahu bahwa “mata dibalas mata hanya akan membuat dunia buta.” Bagi Chaiwat, buta dalam kutipan Gandhi tadi bukan hanya soal fisik saja, tapi “buta tak bisa melihat akar masalah, tuli tak bisa mendengar suara korban, dan buta tak bisa melihat alternatif yang lebih baik.”

Chaiwat menutup kuliahnya dengan berpesan agar hadirin memperbanyak perjumpaan dan membuka diri, sambil tak lupa terus bercermin dan mawas diri. Dia lalu menceritakan pengalaman pribadinya berjumpa dan belajar dari almarhum Nurcholish Madjid yang menurutnya merupakan sosok yang penuh perhatian dan welas asih.***