Dari Diskriminasi ke Optimisme Kesetaraan

Dari Diskriminasi ke Optimisme Kesetaraan

Perlakuan diskriminatif terhadap kelompok minoritas kerap terjadi di banyak sektor. Tak luput juga perlakuan tak setara menimpa di dunia pendidikan. “Saya pernah hampir tidak diluluskan oleh sekolah saya karena dianggap bukan penganut enam agama yang diakui negara,” ungkap Bagja, pemuda penganut Sunda Wiwitan.

Cerita lain juga muncul dari Gugun. Jauh sebelum pemerintah Bogor melarang perayaan Asyura, ia dipecat sebagai guru di salah satu sekolah karena ia Syiah. Tiga hari setelah mengajar, Gugun dipanggil oleh pihak sekolah karena banyak pihak mempermasalahkan identitas keagamaannya.

Sejumlah pengalaman diskriminasi didiskusikan secara intensif dalam Pelatihan Pemuda untuk Membangun Dialog dan Toleransi di Indonesia pada 27-30 Oktober 2015 di Garut, Jawa Barat. Berlangsung selama empat hari, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) bekerjasama dengan lembaga lokal Tasikmalaya, Lingkaran Kajian Agama dan HAM (LKAHAM), bersama 35 peserta yang terdiri dari berbagai aliran kepercayaan dan komunitas pemuda di Tasikmalaya dan Garut. Mereka hadir dari berbagai latar belakang: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syiah, Ahmadiyah, Sunda Wiwitan, dan Katolik.

Dalam pelatihan ini, tidak hanya pengalaman diskriminasi yang digali, namun peserta juga diperkaya dengan pengetahuan peserta dalam isu: HAM, agama, perdamaian, resolusi konflik, dan komunikasi publik. Harapannya, muncul kepedulian dan sensitivitas para generasi muda untuk membangun dialog dan jaringan lintas agama dan kepercayaan untuk mengadvokasi pelanggaran hak-hak beragama dan berkeyakinan di lingkungan sekitarnya.

At4QwiimwE2tWoHDJeMWaGA1X72LQaA2Op1vtgh33coQ

Hadir sejumlah para pembicara yang merupakan peneliti PUSAD dan praktisi dalam isu HAM, perdamaian dan komunikasi public. Dalam salah satu sesi, direktur PUSAD Paramadina, Ihsan Ali-Fauzi, memperkenalkan peserta dengan konsep tolerare yang merupakan asal kata dari toleransi yang berarti menanggung beban. Dengan tolerare, kita diharapkan bisa menanggung beban hidup orang lain dalam kehidupan kita dan saling menghormati beban tersebut.

Dalam sesi lain, Zezen Zaenal Mutaqin dari Komite Internasional Palang Merah melatih kepekaan HAM peserta dengan mendiskusikan isu-isu terkait HAM, seperti hukuman mati, aborsi, dan bunuh diri. Zezen juga memperkenalkan konsep gossiping yang memainkan peran dalam mengkompetisikan wacana, termasuk mengenai HAM dan agama. Sejalan dengan hal ini, Fahd Pahdipie, penulis dan CEO Inspirasi.co, mengemukakan bahwa diperlukan strategi komunikasi dan persiapan yang matang. Kemampuan berkomunikasi dan memanfaatkan sosial media menjadi hal yang perlu diperhatikan dalam kampanye KBB.

Selama pelatihan, peserta juga saling mengenal agama dan kepercayaan yang bahkan sebelumnya belum pernah mereka jumpai langsung. Walaupun awalnya segan untuk bertegur sapa, pada akhirnya peserta mampu berinteraksi bahkan menampilkan pertunjukkan seni yang mengangkat tradisi kelompok minoritas. Pertemuan ini menjadi awal dari jaringan yang akan diperkuat dalam pelatihan tingkat lanjutan yang akan mereka hadiri pada November 2015 ini.

Harapan peserta untuk bisa menghentikan diskrimasi yang teman-teman mereka hadapi juga terlihat selama pelatihan. Yosnefil, peserta dari Ahmadiyah, mengungkapkan, “Saya belum pernah menemukan pertemuan seperti ini. Hal ini membuat saya optimis bahwa perdamaian bisa dicapai.” ***