Demi Islam, Demi Indonesia: Sketsa Biografi Nurcholiash Madjid

Demi Islam, Demi Indonesia: Sketsa Biografi Nurcholiash Madjid

RASANYA mustahil memisahkan namanya dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia atau bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Sejak hampir tiga dekade lalu, ketika usianya masih relatif muda, beberapa makalah, buku dan disertasi doktor sudah ditulis orang mengenainya – baik di dalam maupun luar negeri. Buku rujukan The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World pada 1995 bahkan memasukkan namanya sebagai salah satu entri dari hanya empat entri tentang Indonesia yang ditulisnya.

Ia sendiri belum pernah menulis buku utuh – sampai sekarang. Namun sejumlah nonbook-nya, buku-buku kumpulan tulisannya, mendapat tanggapan sangat mengesankan. Beberapa di antaranya dicetak beberapa kali dalam waktu relatif singkat, mencerminkan makin luasnya apresiasi orang terhadap pikiran-pikirannya. Dan hingga kini, sikap dan pandangan-pandangannya masih terus didengar orang.

Nurcholish Madjid memang salah satu anak bangsa Indonesia yang besar, dengan kontribusi yang juga besar. Itu bukan saja karena pada dirinya terkandung banyak unsur sejati kebangsaan Indonesia, tetapi juga karena pada dirinya pulalah unsur-unsur itu mendapatkan pencapaiannya yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pencapaian pada umumnya rakyat Indonesia. Dan semuanya itu ia abdikan bukan bagi kepentingan kelompok terdekatnya, apalagi bagi kepentingannya sendiri, tapi bagi bangsa dan negara secara keseluruhan.

***

Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 17 Maret 1939, Nurcholish adalah contoh wakil kelompok terbesar rakyat Indonesia: kaum Muslim “santri”. Dari kedua orangtuanya, ia mewarisi darah intelektualisme dan aktivisme dua organisasi besar Islam di Indonesia yang sangat berpengaruh, yakni Masyumi yang “modernis” dan Nahdlatul Ulama (NU) yang “tradisionalis”. Perpecahan kedua organisasi itu pada tahun 1952, karena kepentingan-kepentingan politik, tidak menyebabkan Nurcholish – di masa muda dan dewasanya – untuk memilih salah satunya, melainkan malah “menggabungkan” dan mengembangkan sintesis antarkeduanya ke wilayah kepedulian sosial-politik yang jauh lebih luas.

Hasil segala daya dan upaya itulah yang oleh beberapa sarjana dan pengamat belakangan ini disebut “neo-tradisionalisme Islam” atau “neo-modernisme Islam”. Prinsip yang mendasarinya termuat dalam ungkapan bahasa Arab yang dengan penuh percaya diri sering dikutip tokoh bersangkutan: Al-Muhâfazhah `alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhz bî al-jadîd al-ashlah (“Mempertahankan yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”). Dan semuanya itu tercermin dengan baik dalam semua sepak terjang dan pemikiran yang dilontarkannya, sejak kecil hingga sekarang.

Nurcholish kecil memperoleh pendidikan dasarnya di Madrasah al-Wathaniyyah yang diasuh langsung oleh ayahnya. Ia lalu melanjutkan pendidikan menengahnya di Pesantren Dar al-`Ulum. Pesantren ini, berlokasi di Jombang, adalah salah satu pusat penting kaderisasi tradisionalisme Islam NU. Merasa tidak puas, ia kemudian minta kepada ayahnya untuk dipindahkan ke Pondok Modern Gontor di Ponorogo, Jawa Timur. Meskipun mengklaim diri sebagai pesantren yang “non-sektarian” dan ingin “berdiri di atas semua golongan”, aspirasi keislaman pesantren ini sangat jelas lebih dekat kepada modernisme Islam Masyumi.

Pada tahun 1962, Nurcholish hijrah ke Jakarta, ibukota negara, untuk melanjutkan pendidikan tingginya di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), sebuah lembaga pendidikan tinggi yang dibangun pemerintah pasca-kemerdekaan untuk mendorong mobilitas vertikal kaum Muslim santri yang pendidikannya sangat terhambat di bawah kolonialisme. Pada masa inilah ia mulai berkiprah di organisasi kemahasiswaan: ia terlibat sangat aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), sebuah organisasi mahasiswa Islam “kota” yang didirikan pada tahun 1947. Di organisasi inilah kemampuannya mulai tampak menonjol. Pada tahun 1965, misalnya, ia menulis Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP), rumusan doktrin ideologis HMI yang hingga sekarang masih dijadikan materi wajib dalam pengkaderan puluhan ribu anggotanya. Karena kemampuannya demikian menonjol (saat itu, ia antara lain menguasai bahasa Arab dan Inggris secara aktif dan bahasa Perancis secara pasif), ia terpilih sebagai Ketua Umum HMI untuk dua periode: 1966-1969 dan 1969-1971. Hingga saat ini, ia-lah satu-satunya Ketua Umum HMI yang terpilih dua kali.

Mungkin faktor inilah yang menjadikan namanya belakangan begitu melekat dengan HMI. Tapi sumbangan Nurcholish sebenarnya jauh dari berhenti di situ, melainkan malah baru bermula.Sumbangan terbesarnya justru terletak pada upayanya merumuskan apa yang mungkin dapat disebut sebagai “wajah Islam Indonesia”, upaya yang pada titik-titik tertentu sengaja ia lepaskan dari bendera HMI untuk menghindarkan organisasi itu dari kontroversi yang tidak perlu. Dalam upaya besar ini, Nurcholish mencurahkan hampir seluruh pikirannya untuk menyerasikan tiga tema besar yang selalu menyibukkannya: keislaman, kemodernan dan keindonesiaan. Inilah agenda pembaruan pemikiran Islam yang dikibarkannya sejak dekade 1970-an hingga kini – dan memang dalam rangka ini pulalah ia beberapa kali terlibat dalam kontroversi besar.

Gagasan pembaruan pemikiran Islam secara terbuka pertama kali dikemukakan Nurcholish ketika ia, pada tanggal 2 Januari 1970, menyampaikan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Ummat” dalam sebuah pertemuan di Jakarta. Di situ ia mengajukan pengamatan bahwa kaum Muslim Indonesia mengalami kemandegan dalam pemikiran keagamaan dan kehilangan “kekuatan daya-dobrak psikologis” (psychological striking force) dalam perjuangan mereka. Indikasi penting kemandegan itu adalah ketidakmampuan mayoritas mereka untuk membedakan antara nilai-nilai yang transendental dengan nilai-nilai yang temporal. Bahkan ia menilai bahwa hierarki nilai-nilai itu sering diperlakukan secara terbalik: nilai-nilai yang transendental dipahami sebagai nilai-nilai yang temporal, dan sebaliknya. Akibatnya, tulisnya, “Islam [dipandang sebagai] senilai dengan tradisi, dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis.”

Untuk mengatasi hal ini, Nurcholish menganjurkan dilakukannya pembaruan pemikiran dalam Islam. Di sini, kaum Muslim harus membebaskan diri dari kecenderungan mentransendensikan nilai-nilai yang sebenarnya profan. Selain itu, sebagai konsekuensi dari keyakinan mereka bahwa Islam itu bersifat kekal dan universal, ada kewajiban inheren bagi kaum Muslim untuk menampilkan pemikiran kreatif yang relevan dengan tuntutan-tuntutan zaman modern. Menurutnya, hal ini hanya dapat dicapai jika kaum Muslim memiliki kepercayaan diri yang cukup untuk membiarkan gagasan apa pun dikemukakan secara bebas. Lebih dari itu, mengingat kenyataan bahwa Islam memandang manusia secara alamiah berorientasi kepada kebenaran (hanîf), maka kaum Muslim harus bersikap terbuka terhadap semua pandangan.

Ada banyak implikasi sosial dan politik dari pernyataan teologis Nurcholish di atas. Salah satunya yang penting adalah implikasi bahwa gagasan itu menolak sakralitas perkara-perkara seperti negara Islam, partai-partai Islam atau ideologi Islam. Dalam rangka ini, salah satu jargon terkenal yang dilontarkannya adalah “Islam Yes, Partai Islam No!” Dengan jargon itu, ia antara lain ingin mendorong rekan-rekannya sesama Muslim untuk mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam dan bukan kepada lembaga-lembaga, bahkan pun jika lembaga-lembaga itu berlabel Islam. Inilah yang antara lain turut melumerkan stigma hubungan antara Islam dan negara, yang sudah berlangsung lama di Indonesia.

Implikasi penting lain dari gagasan di atas adalah keharusan bagi setiap Muslim untuk tidak saja berlaku toleran dan pluralis, melainkan juga membela dan mengembangkan semangat toleransi dan pluralisme dalam segala hal. Semangat itu harus dikembangkan ke dua jurusan sekaligus: internal, kepada sesama kaum Muslim; dan eksternal kepada semua orang (non-Muslim). Baginya, kebenaran mutlak hanyalah (milik) Tuhan – dan oleh sebab itu, klaim tertutup akan kebenaran diri sendiri sama saja dengan praktik menyekutukan Tuhan (syirk). Dalam konteks bangsa Indonesia dengan penduduk yang sangat beragam, gagasan ini sangat besar perannya dalam menumbuhkan semangat kerukunan antaragama.

***

BANYAK kaum Muslim yang tersentak mendengar berbagai sikap dan pernyataan Nurcholish mengenai pembaruan Islam seperti disebutkan di atas, termasuk beberapa pemimpin Islam yang lebih tua di Indonesia. Dan dalam beberapa kesempatan, reaksi mereka terhadapnya sangat keras. Mereka, misalnya, menuduh bahwa ia sudah “dibeli” oleh pemerintah Orde Baru yang memang tengah melancarkan program depolitisasi Islam. Dalam nafas yang sama, ia juga dituduh telah “menjual” Islam kepada kelompok-kelompok non-Islam tertentu.

Pada tingkat tertentu, reaksi dan tuduhan itu tidak sulit dipahami. Pertama, dalam makalah di atas, Nurcholish tampil berbeda dari dirinya yang dikenal orang sebelumnya. Ia, misalnya, tidak mengutip ayat-ayat al-Qur’an seperti yang dilakukannya ketika menulis NDP. Ia juga menggunakan sejumlah istilah yang dengan mudah disalahpahami orang sebagai ajakan kepada privatisasi agama, seperti istilah “sekularisasi”. Kedua, kondisi sosial dan psikologis pada umumnya kaum Muslim saat itu benar-benar jauh dari siap untuk menerima implikasi dari seruan pembaruan di atas. Di atas sudah disinggung bahwa secara sosial-politik mereka tengah tertekan oleh berbagai program depolitisasi Islam pemerintah Orde Baru dan deislamisasi kelompok-kelompok non-Islam.

Terhadap berbagai reaksi dan tuduhan itu, Nurcholish hampir sama sekali tidak memberi tanggapan balik. Atas saran beberapa pihak, ia memilih diam. Tetapi jika rekor intelektualisme dan aktivismenya dicermati, akan tampak jelas bahwa reaksi dan tuduhan itu benar-benar jauh panggang dari api. Pertama, Nurcholish sebenarnya tidak berubah. Seruan pembaruannya adalah implikasi lebih lanjut dari ajaran monoteisme Islam (tawhîd) yang menjadi tema utama penulisan

NDP dan pilar seluruh pemikiran keislamannya. Jika dalam makalah di atas ia menggunakan istilah-istilah yang cukup vulgar untuk pendengaran kaum Muslim awam, itu karena ia tidak menduga bahwa makalahnya itu pada akhirnya akan menjadi konsumsi publik luas. Kedua, tuduhan bahwa ia sudah “dibeli” pemerintah gugur dengan sendirinya jika diperhatikan fakta bahwa ia sudah mengembangkan gagasan perlunya “oposisi loyal” di Indonesia sejak pemilu tahun 1971. Untuk mendukung gagasan ini pulalah ia, pada pemilu tahun 1977, berkampanye untuk kemenangan Partai Persatuan Islam (PPP). Sejalan dengan gagasannya tentang pembaruan pemikiran Islam, hal itu dilakukan bukan terutama untuk mendukung sebuah lembaga dengan label Islam, melainkan untuk menjadikan partai itu relatif lebih kuat dan dapat menyeimbangi dominasi Golongan Karya (Golkar), partai pemerintah, di parlemen.

***

HINGGA kini, Nurcholish tetap konsisten dengan pandangan-pandangannya di atas. Bahkan dapat dikatakan, pandangan-pandangan itu tampak memperoleh cara dan pola pengungkapan yang makin matang dan penuh belakangan ini – sejalan dengan makin matang dan penuhnya Nurcholish sebagai pribadi.

Setelah terlibat dalam kontroversi seputar pembaruan yang cukup besar pada awal tahun 1970- an, Nurcholish memang memilih untuk “mundur” dari arena dan menyibukkan diri dalam bidang intelektual. Ia antara lain mendirikan Yayasan Kebajikan Islam Samanhudi dan memimpin majalah Arena, yang keduanya berpusat di Jakarta. Namun, yang penting dicatat dari aktivitasnya pada era ini adalah keterlibatannya di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebuah lembaga penelitian milik pemerintah dan berpusat di Jakarta. Ia sebenarnya bukanlah orang yang cocok untuk menjadi pegawai negeri (ia lebih sering “bolos kantor” dan bekerja di rumah, hingga kini), dan ia bekerja di LIPI karena lembaga itu tengah mempersiapkan proyek penelitian besar bekerja sama dengan Universitas Chicago, Amerika Serikat. Dalam proyek penelitian ini, dengan tema besar Islam and Social Change (“Islam dan Perubahan Sosial”), ia terpilih sebagai satu-satunya peneliti dari Indonesia – dan untuk itu ia harus menjadi pegawai LIPI.

Pertautannya dengan Universitas Chicago, salah satu perguruan tinggi paling bergengsi di Amerika Serikat, di atas belakangan terbukti cukup memainkan peran dalam mematangkan Nurcholish sebagai pemikir dan pembaru. Terkesan oleh kemampuan Nurcholish, universitas itu menawarkan beasiswa pasca-sarjana kepadanya – sebuah tawaran yang, sekalipun dengan antusias diterimanya, baru dapat dijalaninya setelah ia selesai berkampanye untuk PPP pada pemilu tahun 1977.

Di Universitas Chicago, Nurcholish pertama-tama belajar ilmu politik. Setelah merasa cukup, ia pindah ke bidang studi-studi keislaman, dan di sinilah ia berjumpa dengan almarhum Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam paling berpengaruh di abad ini. Di bawah bimbingan gurubesar asal Pakistan ini, Nurcholish lalu menulis disertasi mengenai pemikiran Ibn Taymiyyah, tokoh yang dianggapnya sebagai mbah-nya pemikir pembaruan di dunia Islam.

Sekembalinya dari Amerika Serikat, bersama rekan-rekannya, Nurcholish membentuk Yayasan Wakaf Paramadina (1986). Lewat yayasan ini, ia membidik sasaran publik yang lebih tegas: kaum Muslim menengah kota yang selama ini kurang tertampung minat dan kepentingan religiusnya – karena pola, bentuk dan kandungan intelektual para dai “tradisional” dirasakan kurang memadai. Selain menyelenggarakan kursus-kursus reguler dan diskusi bulanan tentang tema-tema keislaman, yayasan ini juga menerbitkan buku-buku baik karangan asli maupun terjemahan.

Sekarang, setelah berusia lebih dari satu dekade, yayasan di atas telah berkembang pesat. Yayasan ini dapatlah dikatakan sebagai kaki paling kukuh dengan apa Nurcholish, dengan dukungan banyak rekan lain yang sepandangan dengannya, menggerakkan agenda-agenda pembaruannya. Belakangan, yayasan itu juga mulai masuk ke jalur pendidikan formal dengan mendirikan boarding school Sekolah Menengah Umum (SMU) Madania dan Universitas Paramadina Mulya. Keduanya dikembangkan menjadi semacam “lembaga pendidikan Islam alternatif”.

Bahwa Nurcholish kini makin mempertajam sasaran dakwahnya kepada kelas menengah Muslim, itu memang sepenuhnya by design. Menurutnya, kelompok itulah yang paling potensial untuk menggerakkan perubahan di Tanah Air. Bahwa posisi sosial, ekonomi dan politik mereka kini masih sangat lemah, masih sangat rentan untuk diintervensi negara, hal itu sepenuhnya disadarinya. Tetapi, baginya, merekalah satu-satunya harapan masa depan – dan itulah sebabnya ia berusaha keras, dalam tiap kesempatan dan lewat berbagai cara, untuk memperkuat posisi mereka. Bahwa jumlah mereka di Indonesia masih sangat kecil, ia juga sepenuhnya menyadarinya – dan itulah sebabnya ia berusaha untuk memperbanyaknya, sesuai dengan kapasistas dan sumberdaya yang ada padanya.

Nurcholish memang bukan seorang pemikir dengan gairah revolusioner yang menggebu. Ia tidak mempercayai akibat-akibat akhir yang positif dari perubahan yang dilakukan dengan tergesa- gesa dan dengan jalan kekerasan. Sebisa mungkin, menurutnya, perubahan harus dilakukan secara smooth dan damai. Itulah sebabnya ia memandang penting pembentukan opini (opinion making) untuk meningkatkan kesadaran sosial dan politik rakyat, meskipun diperlukan tingkat kesabaran cukup tinggi untuk melihat implikasi konkretnya. Dengan kemampuan lisan dan tulisan yang sama tangguhnya, ia terus memberikan ceramah, mengajar dan menulis di berbagai tempat. Dan karena makin percaya akan pentingnya faktor internasional dalam menentukan perkara-perkara domestik, ia juga rajin mengemukakan pikiran-pikirannya di luar negeri, menjadikannya salah satu dari segelintir kecil “juru bicara” cendekiawan Indonesia di dunia internasional.

Memasuki dekade 1990-an, daya desak pemikiran dan aktivitas Nurcholish terasa makin kuat, dengan lingkup yang makin luas pula. Ia bersedia duduk sebagai pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), organisasi yang disebut-sebut dekat dengan pemerintahan Orde Baru di bawah mantan Presiden Soeharto, bahkan bersedia merumuskan khittah-nya, tetapi tetap sangat tampak bahwa ia mengambil jarak darinya, bahkan kadang mengemukakan kritik keras dan terbuka terhadapnya. Ia terus mempromosikan gagasan “oposisi loyal” yang tidak populer di kalangan pemerintah, betapapun ia cukup tegas menekankan aspek “loyal” dari gagasan itu.

Ia menjadi anggota Komite Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), lembaga yang dibentuk hanya berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) tetapi segera berhasil merebut dukungan bahkan kepercayaan masyarakat berkat citra independensinya. Dan yang juga tidak kalah penting, ia bersedia bergabung dalam Komite Independen Pengawas Pemilihan Umum (KIPP), sebuah organisasi yang dibentuk oleh unsur-unsur masyarakat yang hampir sepenuhnya non-Islam, praktis menjadikannya sebagai satu-satunya “sayap Islam” yang signifikan di lembaga kontroversial dan dimusuhi pemerintahan Orde Baru itu. Sekalipun dikritik keras bahkan oleh banyak teman terdekatnya, ia tetap berkukuh pada pendiriannya bahwa lembaga seperti ini penting untuk pendidikan politik, untuk mengembangkan kultur keadaban (civility), dan untuk memperkuat masyarakat madani (civil society) di Indonesia.

Ringkasnya, Nurcholish adalah jenis orang yang ingin dekat dengan semua kelompok, tetapi tidak ingin melekat dengan mereka. Sebagai seorang Muslim yang taat, ia percaya bahwa kemenangan Islam bukanlah kemenangan lembaga atau orang atau kelompok, sekalipun lembaga atau orang atau kelompok itu berlabel Islam. Baginya, kemenangan Islam adalah kemenangan ide, yakni ketika cita-cita keadilan (`adâlah), kesamaan (musâwâh) dan musyawarah (musyâwarah) diupayakan sungguh-sungguh realisasiannya di tingkat realitas.

***

DEMIKIANLAH Nurcholish Madjid. Dengan keluasan dan kedalaman pengetahuannya, juga kearifannya sebagai cendekiawan yang tanpa pamrih dan keberanian moralnya yang nothing to lose, ia tampil dengan gagasan-gagasan yang segar dan membebaskan. Semuanya itu menempatkannya dalam posisi yang unik sebagai seorang cendekiawan Muslim Indonesia.

Bahwa ia juga ditanggapi secara kontroversial, itu sepenuhnya sangat dimakluminya. Malah, baginya, kontroversi menjadi semacam hukum alam (sunnah Allâh) yang mustahil untuk terus dielakkan. Pada dirinya berlaku pepatah Inggris ini: “To avoid criticism, do nothing, say nothing, and be nothing!” Dan ia tidak mau menjadi nothing – bukan karena ia mengharapkan sejenis popularitas, tetapi karena ia memandang bahwa itulah tugas yang harus diembannya sebagai hamba Allah. Demi Islam dan demi Indonesia.***

Jakarta, 12 November 1996
Pengantar diskusi penulisan otobiografi intelektual

 

Jika mengalami masalah dalam mengunduh dari server utama, dokumen lengkap bisa juga diunduh dari server: [ziddu][docstoc]