Diskusi kelompok Kerja Riset dan Kebijakan Kehidupan Keagamaan di Indonesia

Diskusi kelompok Kerja Riset dan Kebijakan Kehidupan Keagamaan di Indonesia

Dalam rangka memperkuat studi dan kebijakan terkait kehidupan keagamaan di Indonesia, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina bekerjasama dengan Puslitbang Bimas dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, didukung Knowledge Sector Initiatives (KSI), memfasilitasi terbentuknya kelompok kerja yang terdiri dari berbagai unsur pemangku kepentingan. Selain mendiskusikan isu-isu pokok seputar kehidupan keagamaan di Indonesia secara berkala, kelompok ini berperan sebagai wadah “peer-reviewer” untuk studi-studi mengenai tema-tema kehidupan beragama dan sekaligus memperkayanya.

Kelompok kerja ini telah melakukan beberapa kali pertemuan, sebelumnya pada Oktober 2016, mendiskusikan dua makalah Nathanael Gratias (University of Notre Dame) dan Sana Jaffrey (University of Chicago). Dalam diskusi kali ini membahas “Definisi Agama dan Kebebasan Beragama” bersama Dr. Zainal Abidin Bagir, membahas tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan dan Dr. Samsul Maarif yang mengupas tentang pendefinisian agama (14/02/2017), bertempat di kantor Kementerian Agama RI.

Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementrian Agama, Muharram Marzuki, menilai diskusi ini sangat penting dalam menopang kebijakan Kemenag, khususnya terkait dengan penyusunan RUU Perlindungan Umat Beragama yang tengah ramai diperdebatkan. Dalam memperkuat aspek riset dan kebijakan di bidang keagamaan di Indonesia, Direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi menekankan konteks dan tujuan pertemuan kali ini.

Demikian pula Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin mengapresiasi gagasan pertemuan ini dan menyampaikan beberapa kesulitan yang dialami lembaganya dalam merumuskan RUU perlindungan agama. Menurut Lukman, pasal 28J tegas menyatakan agama menjadi salah satu faktor pertimbangan dalam membatasi hak seseorang, selain moral, keamanan dan ketertiban. Masalahnya, berbeda dengan keamanan dan ketertiban, ukuran agama sebagai pembatasan sangat tidak jelas. Ini kemudian terkait dengan definisi agama. “Sulit menemukan definisi yang memuaskan semua orang,” ungkap Menteri Agama.

Sementara itu Samsul Maarif, peneliti dan pengajar di Program Studi Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, memaparkan tinjauan kepustakaan tentang kritik studi agama, khususnya dari segi pendefinisiannya. Setelah mengulas kritik-kritik terhadap kajian agama dalam literatur sejauh ini, Samsul menegaskan perlunya mengkritisi perspektif dan metodologi di baliknya. Agar lebih produktif dan bermanfaat, Samsul menilai studi agama mesti diabdikan untuk kemanusiaan yang lintas batas.

Selanjutnya Zainal Abidin Bagir, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, menyoroti studi tentang kebebasan beragama dari awal mula kemunculannya hingga kritik mutakhir yang menggugatnya sebagai rezim regulasi atau pengelolaan agama, yang tak hanya mendukung kebebasan tapi juga mengonstruksi agama itu sendiri. Menurut Zainal, persoalan besarnya masih berkutat di ketegangan antara hakikat universal kebebasan beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia, di tengah tren penegakannya yang semakin ditandai oleh partikularisme regional atau nasional.

Bertempat di auditorium utama Kemenag, para peserta diskusi menanggapi sejumlah pokok persoalan sebagai berikut: (1) problem dalam kerangka hukum Indonesia, terutama yang terkait dengan pengaturan agama dan penodaan agama; (2) dilema pendefinisian agama yang sulit terlepas dari esensialisme dan bahwa semua agama punya dimensi inklusif dan eksklusif; (3) karena itu, pendekatan non-sekuler hanya bisa diterima jika agama membuka diri ke arah inklusif; (4) perlindungan individu, bukan perlindungan institusi, harus diperhatikan dalam perumusan peraturan keagamaan.

Sementara pemakalah mengingatkan bahwa seinklusif apa pun, agama dan kebebasan beragama tetap tak bisa mencakup semuanya. Misalnya banyak peristiwa yang tak tercatat sebagai pelanggaran kebebasan beragama padahal penganutnya menganggap itu sebagai pelanggaran agama. Menurut Zainal, perlindungan paling prioritas adalah mencegah kekerasan antar-agama, lalu menjamin hak beribadah, lepas dari apa definisinya. Selain itu, penting juga untuk memberikan pengakuan, seperti perkawinan, kelahiran, dan lain-lain.

Pemateri menyadari bahwa tak semua persoalan keagamaan berada di bawah yurisdiksi Kemenag. Masalah utama adalah penodaan agama dan pendirian rumah ibadat. Kalau dua soal itu selesai, laporan-laporan kebebasan beragama Indonesia akan jauh lebih baik. Di sisi lain, perkembangan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang menjauhi pengaturan penodaan agama bisa menjadi salah satu wacana alternatif. Mencari solusi lain, seperti mediasi. “Kalau kita serius melihat pengalaman empiris maka kita pasti akan menemukan jalan alternatif ini,” pungkas Zainal Abidin Bagir.

Diskusi ini dihadiri oleh wakil pemerintah dan masyarakat sipil. Wakil pemerintah yang hadir di antaranya adalah Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama), Muharram Marzuki (Kapuslitbang Kemenag), dan Adlin Sila (Peneliti Puslitbang Kemenag) yang juga turut terlibat dalam kelompok kerja ini. Hadir juga Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri serta wakil-wakil dari Bimas-Bimas yang ada di Kementerian Agama RI.

Sementara dari masyarakat sipil diwakili oleh peneliti dan para aktivis yang selama ini terlibat dalam isu kehidupan keagamaan di Indonesia, di antaranya: Najib Burhani (LIPI), Didin Syafruddin (PPIM), Tobias Basuki (CSIS), Iqbal Ahnaf (CRCS), Budhy Munawar Rachman (TAF), Trisno Sutanto (PGI), Rumadi (Lakpesdam), Nia Sjarifudin (ANBTI), Andreas Harsono (HRW), Martin Lukito Sinaga (STT Jakarta), dan Michelle Andrina (SMERU), dan Irene Kuntjoro (KSI).***