
28 Des FKUB dan Paradigma Kerukunan atau Kebebasan Beragama?
Pengelolaan keragaman di Indonesia menggunakan paradigma kerukunan itu problematis. Kerukunan menguntungkan mayoritas dan biasanya memojokkan kelompok minoritas. Bila ini paradigma yang digunakan, bagaimana warga negara dapat menikmati kebebasannya beragama sebagaimana dinyatakan konstitusi.
Demikian, pandangan Ahmad Najib Burhani, peneliti BRIN, dalam Peluncuran Pangkalan Data FKUB, “Memperkuat Data, Memperkokoh Kerukunan”, pada 28 Desember 2021. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama PUSAD Paramadina dengan Puslitbang dan PKUB Kementerian Agama Republik Indonesia. Peluncuran data ini juga mendapat dukungan penuh dari Knowledge Sector Initiative (KSI).
“Paradigma ini diadopsi oleh sebagian dari masyarakat kita,” jelas Najib. Demi menjaga kerukunan, lanjutnya, kelompok minoritas harus “tahu diri”. Lebih lanjut, Najib juga menyatakan bahwa paradigma kerukunan atau harmoni dalam konteks Indonesia hanya berlaku pada enam agama. “Yang terjadi saat ini adalah perbedaan ditoleransi dan penyimpangan diamputasi,” imbuhnya.
Data profil FKUB yang pada 2017 baru mencatat 30%, tahun ini setelah dimutakhirkan mencapai 60%. Ada tiga temuan pokok dalam riset pangkalan data FKUB yaitu terkait kinerja pemerintah daerah, kelembagaan FKUB, peran dan kinerja FKUB. Selain itu, laporan pangkalan data ini juga diperkuat dengan kajian kualitatif di kota Bogor, kota Semarang, kabupaten Kulon Progo, dan kabupaten Jepara.
Meskipun 51% mendirikan FKUB dalam kurun 2006-2008 saat masa sosialisasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, namun dukungan pemeliharaan kerukunan sangat bergantung pada preferensi pribadi kepala daerah atau kedekatan personal dengan pengurus FKUB. Ada cerita baik berupa terobosan pada substansi regulasi sebagai tafsir terhadap PBM 2006 yaitu Peraturan Bupati No. 52 Tahun 2020 tentang Pendirian Rumah Ibadat dan Tempat Ibadat (Kabupaten Kulon Progo) dan Peraturan Walikota No. 46 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penerbitan Izin Mendirikan Rumah Ibadat (Kota Semarang). Selain itu, ada terobosan dari Pemerintah Kota Bogor yang memasukkan kerukunan sebagai alat ukur kinerja pemerintah daerah dalam RPJMD.
Pangkalan Data ini menemukan 23% pengurus FKUB merupakan bukan rohaniwan. Padahal PBM menyebutkan bahwa pengurus FKUB haruslah tokoh agama. Artinya, pengurus FKUB beragam dari berbagai profesi, walaupun masih rendah angkanya. Sementara itu, dari segi gender, perempuan yang menjadi pengurus FKUB tidak lebih dari 9 persen. Untuk itu, diperlukan regulasi dengan wawasan berkeadilan gender agar terjadi peningkatan keterlibatan perempuan dalam FKUB.
Temuan lain studi ini, FKUB lebih banyak berkutat dengan urusan administrasi dibanding memfasilitasi berbagai pihak. FKUB seharusnya mendalami akar masalah bila ada penolakan rumah ibadah, bukan mengecek administrasi syarat IMB. Jika tidak, FKUB rentan menjadi pihak yang berkonflik.
Model penyelesaian sengketa rumah ibadah, temuan lainnya, umumnya arbitrase. Sebagian besar FKUB berperan sebagai bagian dari tim yang dibentuk Pemda untuk menyelesaikan sengketa (57%). Tidak lebih dari 31 persen FKUB menjadi kepala tim penyelesaian sengketa rumah ibadah.
Indonesia tidak bisa terlepas dari kemelekatan terhadap agama. Laporan dan pangkalan data FKUB ini merupakan pondasi untuk menelusuri isu keagamaan yang ada di Indonesia. Isu-isu keagamaan ini tidak bisa dilewatkan dalam kaitannya membangun bangsa dan menuju Indonesia emas 2045 nanti. Laporan dan Pangkalan Data FKUB ini dapat diakses di website PUSAD Paramadina.
No Comments