Jihad Versus Industri Senjata

Jihad Versus Industri Senjata

Jika Anda menyaksikan teroris beraksi, apa yang sangat menonjol Anda kenali? Mungkin seseorang meneriakkan jihad. Tapi juga senjata, bukan? Yang terus bertahan di benak saya adalah Osama Bin Ladin berdiri di atas mobil Toyota membawa Kalashnikov.

Osama pasti juga memanfaatkan telepon selular atau antena parabola. Tapi yang wajib ada padanya adalah senjata. Dengannyalah orang dibunuh dan terorisme ditegakkan.

Sayang, aspek ini jarang sekali diperhatikan. Fokus kita melulu soal doktrin takfir dan jihad. Seakan doktrin agama belaka, zonder senjata, bisa menghasilkan kekerasan ekstremis.

Senjata menghancurkan perdamaian dari banyak segi. Kita tahu ia mematikan, tapi banyak pihak berkepentingan dengannya.

Selain produsen dan penjual senjata, industri senjata juga dirayakan mercenaries, mereka yang ikut perang karena keahliannya menggunakan senjata, bukan karena mereka bagian dari pihak-pihak yang bertikai. Itu sebabnya, dalam klausul tambahan Konvensi Jenewa (1977), mereka tidak diizinkan memperoleh hak sebagai kombatan atau tawanan perang. Menurut Global Research (2015), perang di Syria kini melibatkan sekitar 25 hingga 30 ribu mercenaries.

Industri senjata juga menguntungkan perusahaan militer swasta, yang menyediakan logistik atau latihan perang. Ketika AS menginvasi Afghanistan dan Irak, bisnis perusahaan militer swasta ini naik daun di negara itu. Pada Maret 2004, empat pagawai Blackwater USA, salah satu perusahaan militer swasta paling top di AS, diserang di Fallujah. Ini menyulut dimulainya “Perang Fellujah” yang terkenal. Semuanya memerlukan senjata, senjata, dan senjata lagi….

Tapi industri senjata juga menghancurkan sendi-sendi perdamaian secara tak langsung. Pertama, korupsi merajalela, karena jual-beli senjata menumbuhkan war economy, antara lain pasar gelap yang tidak transparan dan akuntabel. Baru-baru ini (2016), mantan Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeli, kini Kepala Panel Tingkat Tinggi PBB untuk Peredaran Uang Haram di Afrika, menyatakan bahwa Afrika rugi sekitar US$50 milar per tahun akibat korupsi seperti ini.

Kedua, industri senjata mendorong para pengambil kebijakan untuk mengutamakan strategi intervensi militer dalam menyelesaikan konflik dibanding yang lainnya. Karenanya, pihak-pihak yang bertikai akan memanfaatkan segala sumberdaya untuk membeli senjata, termasuk dengan mencuri dan menjual aset-aset bernilai seperti minyak di pasar gelap. Inilah awal skandal blood diamond yang terkenal, di mana para pesaing yang berperang di Afrika menjual berlian di pasar gelap untuk beli senjata.

Ketiga, terkait alasan di atas, para pesaing dalam perang, juga industri senjata, hanya peduli pada bagaimana menjual (memperoleh) senjata, dan tak terlalu peduli pada mau diapakan senjata-senjata yang ada sesudah konflik (meskipun sementara) usai. Banyak laporan menyebutkan (misalnya Saferworld, Februari 2016) bahwa Boko Haram, yang oleh pemerintah AS kini dianggap organisasi teroris, memperoleh senjata dari intervensi militer negara-negara Barat di Libya.

So, berhentinya konflik kekerasan, apalagi terorisme, memerlukan tak kurang dari perubahan paradigma kita dalam menyelesaikan konflik. Mengontrol, jika tak menghancurkan, industri senjata sama pentingnya dengan menetralisasi doktrin seperti jihad.

Tantangannya mahaberat. Menurut Amnesty International, salah satu LSM internasional yang rajin menyoroti bahaya perdagangan senjata, 74% senjata di dunia disediakan oleh AS (35%), Rusia (15%), Inggris (7%), China (6%), Prancis (4%), dan Jerman (7%). Penting diketahui, lima negara pertama adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yang sangat menentukan perang atau damainya satu kawasan.

Tapi kesaksian tetap harus diberikan. Kita mulai dengan gugatan-gugatan kecil, terus-menerus.

Dimuat di geotimes.