Ketika Pemilu Menggoda Iman Para Ikhwan – Catatan dari Poso, Sulawesi Tengah

Ketika Pemilu Menggoda Iman Para Ikhwan – Catatan dari Poso, Sulawesi Tengah

Poster kampanye mantan jihadis Sumiyono (kanan).

Ihsan Ali-Fauzi, Moh. Irsyad Rafsadie, Siswo Mulyartono

Di antara banyak insiden kekerasan dalam konflik Poso, Sulawesi Tengah, serangan milisi Kristen di Kilometer 9, Kecamatan Lage, pada Mei 2000 adalah yang paling diingat Sumiyono (Yono), seorang mantan jihadis. Akibat serangan itu, 45 orang sanak familinya mati terbunuh, termasuk kakak kandung dan kakeknya. Dia sendiri selamat sesudah dikejar-kejar seminggu di hutan dan bersembunyi sehari penuh di sungai. Keinginannya membalas dendam lalu mendorongnya menggabungkan diri dengan milisi Muslim di Tanah Runtuh, markas milisi Muslim di Poso kala itu. Di sana dia ikut pengajian, latihan perang, dan tumbuh menjadi jihadis, meskipun sebelumnya dia gemar adu ayam dan mabuk-mabukan.

Hari-hari ini, hampir dua dekade kemudian, Yono adalah sosok yang berbeda. Menjelang pemilu 17 April 2019 ini, dia sibuk kampanye memenangkan partainya dan mengusahakan agar caleg (calon anggota legislatif) dari partainya terpilih. Di Poso, dia wakil ketua Partai Berkarya pimpinan Tommy Soeharto, anak mantan presiden Soeharto yang secara otoriter memerintah Indonesia selama 32 tahun. Ketika ditanya mengapa dia mendukung partai bentukan kroni Soeharto dan bukan tokoh reformis, Yono balik bertanya: “Siapa sekarang yang reformis, Pak? Surya Paloh? Amien Rais? Atau Ibu Mega dan SBY?” Baginya, pilihan politik para ketua partai di era Reformasi ini tak jauh beda dari cara Tommy berpolitik.

Dalam posisinya sekarang, Yono merasa dihargai. Katanya, “Saya ingin ikut menentukan. Kalau nanti ada anggota legislatif yang kerjanya tidak beres, saya sendiri yang akan melemparnya dari lantai dua [degung parlemen Poso].” Di salah satu poster kampanye partainya yang sempat kami lihat, ada fotonya dan foto ketua partainya di Poso, dengan foto Soeharto diletakkan di tengah, sedikit di bawah lambang partai. Tulisan di poster itu berbunyi: “Kangen Soeharto: Partai Berkarya Pilihanku.”

Aktivisme politik Yono mewakili perubahan penting dalam sikap para ikhwan di Poso terhadap pemilu dan demokrasi. Inilah pertamakalinya mereka secara terbuka mendukung pemilu dan “basah kuyup” terlibat di dalamnya. Sebelumnya, mereka mengharamkan demokrasi karena hal itu mencerminkan ketundukan kepada sistem politik buatan manusia – sistem thaghut (setan, tiran), istilah mereka. Karenanya, pemerintah mereka sebut kafir, praktik yang akhirakhir ini dikenal sebagai takfir (meng-kafir-kan orang lain). Kali ini, janji-janji perbaikan lewat pemilu berhasil menggoda iman mereka.

Dengan alasan dan tingkat keterlibatan beragam, aktivisme politik seperti yang dilakukan Yono menandai langkah-langkah maju ke arah reintegrasi masyarakat Poso pasca-konflik. Salah satu kunci keberhasilan reintegrasi adalah kembalinya para mantan kombatan menjadi warga sipil biasa, yang mendukung sistem pemerintahan yang berlaku. Pemilu menawarkan pilihan bagi mereka untuk memperjuangkan kepentingan lewat kotak suara, bukan peluru dan senjata – dengan jalan damai, bukan kekerasan, seperti yang selama ini mereka kenal.

Daya Tarik Pemilu

Di Poso, orang seperti Yono biasa disebut ikhwan. Diambil dari Bahasa Arab yang artinya “kawan”, istilah itu umum digunakan untuk menyebut para aktivis muda Muslim yang pada masa konflik komunal menjadi pilar milisi Muslim. Sebagian dari mereka, seperti Yono, kemudian ikut berperang sebagai jihadis (dari jihad). Ketika situasi Poso makin aman sesudah kesepakatan damai Malino (Desember 2001) dan terutama setelah aksi penegakan hukum oleh Polri (Januari 2007), sebagian lebih kecil dari jihadis di atas masih terus melakukan aksi-aksi kekerasan, yang oleh pemerintah dianggap bagian dari aksi-aksi terorisme. Karena alasan ini, mereka ditangkap, diadili, dan dipenjarakan sebagai narapidana terorisme (napiter). Sebagian lain yang belum tertangkap masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).

Walaupun Yono seorang ikhwan dan mantan jihadis, dia bukan napiter. Dia tidak pernah terlibat dalam aksi-aksi terorisme dan dipenjara karenanya. Namanya juga tidak masuk dalam DPO, sehingga dia menjadi pengurus Partai Berkarya dan kini sibuk berkampanye.

Tapi di Poso hari-hari ini, pemilu didukung bukan hanya oleh orang seperti Yono, tapi juga oleh mantan jihadis, bahkan mantan napiter. Salah satunya Ma’mur Lapido, yang ketika kami temui sedang sibuk berkampanye agar terpilih sebagai caleg dari Partai Golkar. Ma’mur sempat dipenjara (2003-2004) karena terlibat perampokan mobil boks distributor Djarum Super bersama antara lain Santoso, yang belakangan membentuk Mujahidin Indonesia Timur atau MIT, dalam operasi yang mereka sebut fa’i (merampas harta orang kafir untuk keperluan jihad). Dia sekarang berjuang sebagai caleg Golkar, karena partai inilah yang kini berkuasa di Kabupaten Poso: bupati sekarang adalah Ketua DPD Golkar. “Maksud saya adalah agar saya tidak menggiring masyarakat untuk berlawanan dengan pemerintah. Jika saya seiring dengan pemerintah, otomatis keinginan masyarakat akan mudah tersalurkan,” kata Ma’mur.

Kesibukan Yono dan Ma’mur di atas didukung banyak tokoh penting di Poso, termasuk Muhammad Adnan Arsal. Ini bukan dukungan biasa: di Poso, tokoh yang biasa dipanggil Ustad Adnan itu bisa dianggap “Godfather” bukan saja para ikhwan dan jihadis, tapi juga umumnya komunitas Muslim. Dia sangat disegani karena selama periode konflik, khususnya fase kekerasan awal (Mei-Juni 2000), dia terus bertahan di Poso, ketika banyak tokoh masyarakat lain mengungsi. Ketokohannya juga diakui oleh para jihadis dari Jawa, sebagiannya berasal dari jaringan Jemaah Islamiyah (JI) yang datang dengan maksud membantu milisi Muslim Poso, dan pesaing-pesaingnya dari kubu Kristen. Tak aneh jika pesantrennya di Tanah Runtuh menjadi pusat operasi milisi Muslim di Poso selama konflik dan dia sendiri menjadi salah satu tokoh kunci kesepakatan Malino.

Dalam pemilu kali ini, Ustad Adnan bahkan merestui salah seorang anaknya, Muhammad Fauzan Arsal (Ojan), untuk ikut berkompetisi sebagai caleg. Ditanya apakah ada sarat-sarat tertentu agar seorang ikhwan bisa terlibat dalam politik praktis, dia menjawab normatif saja: “Selama Anda tidak menggadaikan akidah, silakan [pilih partai apa saja]. Bila akidah tergadai, saya bilang tidak ada gunanya kamu hidup,” katanya prinsipalis. Tapi banyak sumber kami di luarnya melaporkan bahwa dia lebih suka jika anak-anak asuhnya mendukung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), atau Partai Gerindra, yang dalam pemilihan presiden kali ini sama-sama mendukung pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno.

Pilihan politik Ustad Adnan juga tercermin dalam keterlibatan Fauzan sebagai caleg. Meski bukan kader atau pengurus Partai Gerindra, dia membawa tiket sebagai caleg dari partai itu, sejalan dengan rekomendasi para ulama yang tergabung dalam Persaudaraan Alumni 212 (merujuk ke Aksi Bela Islam, 2 Desember 2016, di Jakarta). Fauzan sendiri mengaku maju sebagai caleg karena dia ingin memperjuangkan aspirasi para ikhwan. Dia juga mau menghilangkan stigma orang-orang di luar Poso bahwa kaum Muslim Poso, terutama para ikhwan, adalah gerombolan teroris. Selain itu, dia juga ingin mempromosikan Syariat Islam, yang menurutnya dimungkinkan dalam demokrasi.

Perbedaan pilihan partai politik Yono, Ma’mur dan Fauzan memperlihatkan cairnya aliansialiansi politik yang dibentuk para ikhwan di Poso, seperti juga terjadi di tingkat regional dan nasional. Sudah umum diketahui, pilihan kebijakan politik di Indonesia belakangan ini sulit dilihat dari misalnya apakah seseorang mendukung partai politik Islam atau sekular. Seperti ditunjukkan Michael Buehler (2011), banyak politisi dari partai sekular juga mempromosikan Syariah untuk memenangkan pemilu.

Dalam aras lain, dengan mendukung partai-partai berbeda, para ikhwan ingin memenangkan aspirasi mereka melalui beragam saluran, hingga tingkat kemungkinannya untuk berhasil lebih tinggi. Mengikuti kata-kata bijak, mereka tidak mau meletakkan semua telur di keranjang yang sama. “Makin banyak ikhwan atau simpatisan ikhwan duduk di pemerintahan, makin mudah kepentingan ikhwan diperjuangkan,” kata Yono. Mereka banyak belajar dari Aksi Bela Islam 212 yang menurut mereka berhasil memenangkan Pilkada Jakarta. “Selama ini para ikhwan golput. Kalau kita bersatu dan aktif dalam demokrasi, tentu kita bisa menang dan lebih mudah memperjuangkan Islam,” kata ikhwan lain kawan Yono.

Di Poso, aktivisme politik itu juga dimaksudkan untuk memperkuat model aktivisme politik lain, yang juga dilakukan secara damai, seperti melobi para pejabat pemerintah atau anggota dewan tingkat lokal. Ini misalnya mereka lakukan terkait dengan penunjukan para pejabat daerah untuk posisi-posisi seperti kepala dinas, yang mereka upayakan diduduki wakil Muslim. Aktivisme sejenis lainnya adalah mengadakan protes damai, misalnya terkait isu “2019 Ganti Presiden” atau pembakaran “bendera Tauhid”. Dengan mengerjakannya sekaligus, strategi politik lewat pemilu dan di luarnya diharapkan bisa saling mendukung.

Karena perkembangan-perkembangan di atas, Budiman Maliki, kini ketua KPU Kabupaten Poso, menyatakan optimis bahwa tingkat partisipasi dalam pemilu 2019 ini akan meningkat di Poso. Dia menduga, jumlah golput di Poso juga tergantung pada apakah para ikhwan ikut berpartisipasi dalam pemilu atau tidak.

Karena kelangkaan data, mustahil memverifikasi dugaan Budiman ini dengan pasti. Selain itu, jumlah golput dalam pilpres dan pilkada di Poso sendiri tidak selamanya berjalan seiring: sementara jumlah golput dalam pilpres sedikit menurun, dari 21% dalam Pilpres 2009 ke 20% dalam Pilpres 2014, jumlah golput justru sedikit meningkat dari 17.25% dalam Pilkada 2010 ke 18,32% dalam Pilkada 2015. Salah satu kemungkinan penjelasannya adalah: seseorang memilih golput dalam pilkada, tapi aktif berpartisipasi dalam pilpres, atau sebaliknya. Jika kemungkinan ini benar, bayangkan perubahan yang terjadi dalam jumlah golput di Poso jika banyak ikhwan memilih untuk bersama-sama memenangkan calon tertentu dalam pilpres, seraya melupakan perbedaan pilihan politik dalam pilkada, seperti kecenderungannya bisa kita lihat sejauh ini.

Karena alasan ini, menjelang 17 April 2019, Budiman gembira bahwa acara sosialisasi menyukseskan pemilu yang dibuat kantornya, misalnya, ikut didukung tokoh seperti Hasanuddin, yang juga menantu Ustad Adnan. Seperti mertuanya, Hasanudin juga figur kunci dalam sejarah konflik Poso: pada Oktober 2002, kader JI kelahiran Semarang itu ditunjuk JI memimpin operasi JI di Poso, kepada siapa semua ikhwan harus minta restu sebelum melakukan aksi apa pun, termasuk mutilasi tiga siswi yang menghebohkan. Itulah sebabnya dia dijatuhi hukuman penjara 20 tahun, rekor tertinggi di antara para ikhwan. “Kalau dulu musuhnya jelas, sekarang siapa musuhnya? Mau [jihad] melawan Densus? Seberapa kuat kita? Situasinya sudah berubah,” katanya, menjelaskan dukungannya kini kepada pemilu.

Menarik juga dicatat bahwa Budiman sendiri merasa perlu bersilaturrahmi dan memperoleh restu Ustad Adnan ketika hendak mencalonkan diri sebagai anggota KPU. Dia sebelumnya dikenal sebagai seorang peneliti dan aktivis LSM cukup senior di Poso.

Menurunnya Dukungan kepada MIT

Kesibukan baru para ikhwan di atas ikut menjelaskan mengapa kelompok teroris MIT pimpinan Santoso tidak memperoleh dukungan yang cukup dari masyarakat Poso. Beberapa narasumber bahkan menyatakan bahwa dukungan itu sudah sangat merosot, bahkan kecil sekali. Jika ada, dukungan kecil itu pun diberikan lebih karena alasan solidaritas kemanusiaan, bukan ideologis. Itu sebabnya mengapa kelompok MIT belakangan ini menyelenggarakan operasinya di Gunung Biru, Tamanjeka, Poso Pesisir, yang berjarak sekitar 50 kilometer dari pusat Kota Poso, dan sisa orang Poso yang masih bergabung di sana hanya Ali Kalora. Ini terlepas dari fakta bahwa Santoso sebagai pribadi dulu pernah berjasa kepada masyarakat Poso, bahkan dijuluki syahid (pahlawan) oleh sebagiannya.

Di Tamanjeka sendiri, kehidupan tampak berjalan normal, meskipun satu-satunya jalan masuk ke wilayah ini cukup sulit dilewati mobil dan situasi keamanan kadang terganggu oleh berjalannya Operasi Tinombala. Ketika kami mengunjunginya, kepala dusun di situ, Muhammad Sambara, tampak baru pulang dari bertani. Selain bercerita tentang sisi enak dan tidak enak menjadi kepala dusun di situ, dia pribadi sedih karena salah seorang keponakannya sempat tertarik kepada kelompok MIT dan sekarang tak ada kabarnya lagi. Dia juga bercerita bahwa di dusun itu ada beberapa mantan napiter, bahkan yang baru saja bebas, dan bahwa persiapan menyambut Pemilu 2019 sedang berlangsung: “Semua warga telah didata, tapi saya tidak tahu apakah nanti mereka memilih atau tidak,” katanya. Kami diantar Andi Cakra, Kepala Unit Bimbingan Masyarakat kepolisian setempat, yang tampak sangat akrab dengan warga sekitar: kami harus berhenti di hampir tiap rumah yang kami lewati, untuk minum kopi dan makan duren, karena tuan rumahnya ingin bersilaturrahmi dengan Pak Andi.

Di Poso kota, para ikhwan bahkan bisa dengan terbuka menolak ajakan kelompok MIT. Yono, misalnya, tegas mengecam aksi-aksi kekerasan kelompok itu, meskipun Santoso dulu adalah kawan baiknya. “Cara-cara kekerasan yang mereka lakukan dan mereka minta untuk kita dukung sudah tidak berdasar lagi sekarang. Poso sudah berubah, dan kita bisa membuatnya lebih baik lagi dengan terlibat dalam pemilu,” kata Yono. Meskipun berbeda pilihan jalan hidup, Yono tetap menghormati Santoso sebagai manusia: ketika Santoso mati tertembak dalam Operasi Tinombala pada 18 Juli 2016, Yono termasuk ikhwan yang ikut memikul keranda mayatnya sebelum jenazahnya dimakamkan.

Kesaksian tentang Poso yang makin aman dan masa lalu konflik sebagai hantu yang menakutkan juga diberikan oleh warga biasa yang menikmati “Blues Night” di satu kafe di Kota Poso pada malam Minggu, 1 September 2018. Ketika satu dari kami tiba di kafe itu bersama Iin Brur, mantan napiter lain yang menyutradarai film Jalan Pulang, berdasarkan kisahnya sendiri, banyak pengunjung kafe – termasuk gitaris (Kiki) dan penyanyi (Naser), yang belakangan tampil memainkan live music – menegur kami dengan akrab. Sebelum terlibat konflik sebagai anggota jihadis Tanah Runtuh, Iin Brur memang seseorang yang aktif bermusik, termasuk membentuk band. “Poso kini sudah aman dan kami ingin bermain musik lagi,” kata Naser. Menurut Iin Brur, ketika konflik pecah, Kiki pergi ke Gorontalo untuk melanjutkan pendidikan, sedang Naser mengungsi dan “rela dipanggil pengecut.”

Dengan sendirinya tak semua ikhwan bersedia mendukung pemilu. Sebagiannya karena alasan ideologis, yang memandang pemilu masih sistem thaghut. Tentang ini, Fauzan bercerita: “Baliho saya sempat dirusak oleh teman saya yang tidak setuju dengan pencalonan saya. Bahkan, flyer kampanye saya di media sosial diedit, ditambahi gambar salib untuk menunjukkan bahwa saya sudah kafir.” Tapi sebagian ikhwan lainnya kuatir bahwa keterlibatan para ikhwan dalam pemilu akan merusak persaudaraan mereka. “Saya kuatir mereka cekcok dan berkelahi. Jika itu terjadi, repot mengurusnya,” kata Sofyan Djumpai, mantan pentolan mujahidin Kayamanya yang kini sibuk berbisnis.

Beberapa narasumber melaporkan bahwa pemimpin agama yang hingga kini masih sangat tertutup dan menyebarkan paham Islam radikal di Poso adalah Ustad Yasin, yang berbaiat kepada Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) pimpinan Abu Bakar Baasyir, organisasi yang ingin melanjutkan cita-cita pendirian negara Islam sesudah JI dan belakangan mendukung ISIS (Negara Islam di Irak dan Syam). Ketika JI mulai tidak tertarik dengan operasi baru di Poso, Ustad Yasin mulai membahas kemungkinan mengaktifkan JAT di Poso dengan Santoso. Sebelumnya, dia ditangkap setelah baku tembak dengan polisi pada Januari 2007, dipenjara lima tahun, dan bebas pada 2010. Ketika dipenjara di Lapas Petobo, Palu, dia mengadakan pengajian yang diikuti beberapa orang yang belakangan menjadi pengikut MIT. Dia kini tinggal di Kayamanya, diam-diam terus mendakwahkan ajaran-ajaran Islam yang menentang demokrasi, dan mengambil jarak dari para ikhwan yang berpolitik seperti Fauzan.

Perkembangan di Poso di atas adalah pertanda baik. Kita tidak tahu siapa yang nantinya akan dipilih para ikhwan atau mantan jihadis di atas, dan siapa pula yang akhirnya memenangkan pemilu secara nasional. Tetapi yang sudah pasti akan menang adalah demokrasi, yang sudah berhasil mengganggu iman mereka.***

Ihsan Ali-Fauzi adalah Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Moh. Irsyad Rafsadie dan Siswo Mulyartono adalah dua peneliti di lembaga yang sama. Tulisan ini adalah bagian dari laporan penelitian yang lebih luas mengenai ekstremisme kekerasan dan upaya-upaya binadamai di Poso dan Bima, yang didukung oleh Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ).

Artikel ini terbit dalam bahasa Inggris di Indonesia at Melbourne 
https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/ballots-not-bullets-former-muslim-militants-turn-to-politics-in-poso/

Tags: