KONFLIK ETNO-RELIGIUS, PENODAAN AGAMA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

KONFLIK ETNO-RELIGIUS, PENODAAN AGAMA DAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Kekerasan etnis dan agama berskala besar yang terjadi pada awal transisi demokrasi kini sudah menurun. Tapi kasus-kasus intoleransi dan kekerasan bernuansa agama berskala kecil masih terus terjadi. Kasus-kasus tersebut kini disertai naiknya dua fenomena yang makin mengkhawatirkan: politisasi sentimen anti-Tionghoa serta politisasi isu penodaan agama.

Dalam diskusi hasil peneilitain Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina tentang “Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai” di gedung Center for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta (24/5), Irsyad Rafsadi (peneliti PUSAD Paramadina) memaparkan adanya rekayasa kebencian dan ketersinggungan berdampak pada perusakan dan pembakaran belasan tempat ibadat warga Tionghoa di Tanjung Balai pada 29-30 Juli 2016 lalu. Temuan tersebut ditanggapi oleh Tobias Basuki (peneliti CSIS), Sana Jaffrey (Chicago University), Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) dan diskusi dipandu oleh Zainal Abidin Bagir (CRCS UGM).

Berbagai laporan umumnya menggambarkan peristiwa Tanjung Balai sebagai konflik etno-religius yang dipicu oleh ketersinggungan karena pernyataan Meliana, seorang warga Tionghoa yang dianggap menghina simbol agama. Meliana yang menjadi korban sasaran perusakan itu kini masih harus menghadapi ancaman lain setelah pada Maret 2017 lalu dia ditetapkan sebagai tersangka penodaan agama. Menggunakan data hasil wawancara serta analisis dokumen pengadilan dan laporan pemantauan, studi ini menelusuri proses eskalasi konflik dan menemukan adanya rekayasa kebencian dan ketersinggungan yang selama ini sering luput dari perhatian.

“Kami menemukan ada yang luput dari sebagian besar laporan yang menggambarkan peristiwa perusakan ini sebagai aksi spontan akibat miskomunikasi. Meski mungkin memang tidak dirancang dari jauh-jauh hari, tapi jelas ada mobilisasi dan karenanya tidak spontan. Keluhan wajar antar-tetangga direkayasa sedemikian rupa sehingga mengobarkan kemarahan seisi kota,” papar Irsyad Rafasadi, peneliti PUSAD Paramadina.

Menurut Irsyad, mobilisasi dan rekayasa ketersinggungan itu efektif karena beberapa faktor, antara lain tidak adanya saluran komunikasi yang setara antar kelompok etnis dan agama, konflik-konflik sebelumnya yang belum terselesaikan, kecemasan ekonomi, dan kekecewaan politik. Kisruh politik dan protes anti-Ahok di Jakarta juga turut berperan membuat konflik ini berlarut, dan juga sebaliknya, digunakan untuk meningkatkan tekanan kepada Jakarta.

Pemilihan gubernur DKI Jakarta juga menjadi sorotan dalam peneleitian ini karena melibatkan politisasi isu penodaan agama yang meningkat di Indonesia. Crouch (2012) mencatat kasus penodaan agama meningkat drastis sejak 2002 dan sampai 2014 ada setidaknya 106 orang yang dihukum berdasarkan UU Penodaan Agama (Amnesty Internasional 2014). Para terhukum itu sebagian besar adalah bagian dari kelompok minoritas. Sebagaimana ditunjukkan Marshall dan Shea (2011), penerapan UU ini di berbagai negara sarat dengan represi dan manipulasi politik.

Temuan George (2016) menunjukkan bagaimana isu penodaan agama menjadi senjata para enterepreneur politik dalam mengupayakan kepentingannya dan menyebut fenomena ini sebagai “hate spin.” Mereka mengobarkan kemarahan atas sesuatu yang dipersepsi sebagai penodaan agama untuk memobilisasi dukungan dan menyasar lawan. Mereka selama ini luput dari perhatian karena yang dianggap sebagai pemicu kekerasan adalah kelompok minoritas yang dianggap melakukan penistaan.

“Kasus ini menunjukkan bahwa undang-undang penodaan agama justru menjadi alat berkonflik, bukan menjadi pencegah konflik sebagaimana anggapan pemerintah. Tidak pernah ada momen paling penting selain saat ini untuk meninjau kembali kegunaan UU ini,’ pungkas Irsyad.***