Kupatan Petani Kendeng

Kupatan Petani Kendeng

Setelah lebaran Idul Fitri, tradisi kupatan kerap dilaksanakan beberapa daerah di Jawa. Bermacam-macam bentuk, dari membuat ketupat, menggelar syukuran, pesta adat, ataupun membuang sesaji (larung) ke laut lepas. Namun kali ini ada yang berbeda dengan yang dilakukan oleh sejumlah warga di lereng pegunungan Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, 22 Juli lalu. Para penduduk berbondong-bondong jalan kaki mendaki bukit, membawa obor, mengadu situasi pada alam raya. Mereka khawatir akan ada malapetaka, kemalangan, kehancuran lingkungan akibat maraknya industri ekstraktif mengeruk pegununga kars Kendeng.

Lewat tradisi kupatan, mereka mengarak gunungan yang dirangkai dari ketupat dengan mengingatkan warga bahwa kelimpahan yang dinikmati saat ini tak bisa dilepaskan dari sumber air yang mengalir dari Kendeng. Lewat pemaknaan secara ritual, perayaan tradisional ini mengaitkan antara keberadaan manusia dengan alam, hidangan, beras, dan umbi-umbian yang menjadi santapan pokok sehari-hari. Mereka ngupat, ngaku lepat (mengaku salah), atas perlakuan selama ini terhadap alam sekitar. Sebuah pergulatan hubungan antara manusia dengan alam.

Warga lereng Kendeng bersyukur sekaligus cemas. Akibat kemarau panjang saat ini mengakibatkan sejumlah kekeringan dan krisis air bersih di Jawa Tengah. Menurur Badan Penanggulangan Bencana Daerah Jawa Tengah, sampai akhir Juli ini terdapat 530 desa dilanda kekeringan. Sedangkan di sepanjang pegunungan Kendeng di Rembang, Pati, Blora, dan Purwodadi, selain kekeringan yang sudah melanda, sejumlah embung air sudah mulai surut.

Ritual Kendeng juga mengajak kita memahami karakteristik gunung kapur. Batu gamping yang terhimpun dalam kawasan karst memang memiliki fungsi sebagai serapan air. Seperti spon raksasa, tiap lapisannya menyimpan dan menyerap air. Maka tak heran jika banyak goa-goa menjadi seperti sungai bawah tanah yang mengalir deras dan saling terkait. Dikupas di satu tempat, akan memotong jalur lain yang saling terhubung. Aliran ini juga yang membuat petani di sekitar Kendeng tanahnya subur ditanami.

Refleksi dari Rembang ini mengingatkan bencana yang terjadi saat ini juga karena ulah kaum serakah. Pengerukan batu gamping akan menghilangkan lubang-lubang pelarut penyimpan air hujan. Tentu situasi perusakan “lumbung air” ini bisa dicegah jika pemerintah daerah tak semena-mena mengeluarkan izin tambang. Selain pertambangan kecil, industr exstraktif raksasa mulai menancapkan kukunya di pegunungan Kendeng.

Padahal, jika menengok negara-negara maju, mereka mulai menyadari pentingya menjaga energi tak terbarukan ini. Bahkan Cina sudah menutup 762 pabrik semennya (New York Times 2010). Tidak seperti Indonesia yang dengan murah menjual kekayaan alam secara serampangan. Gejala ini biasanya diiringi dengan alih fungsi lahan.

Bencana krisi air bersih di Jawa mengancam di depan mata. Sudah sepatutnya kita belajar dari mereka yang menghayati hidup adalah kesatuan dari waktu yang membentuk batang, menyambung dahan, merangkai akar, menyatu dalam bebatuan kars, menyimpan spon air kehidupan. Mereka menjaga sumber air yang mengaliri sawah ladang demi dapat mewariskan pada anak cucu sebuah kesuburan.***

Terbit di Koran Tempo, Kamis, 30 Juli 2015