Memandang Kekerasan secara Epistemologis

Memandang Kekerasan secara Epistemologis

JAKARTA, KOMPAS — Ketika kekerasan terjadi, hal pertama yang harus dilakukan bukanlah menunjuk pelakunya, melainkan menganalisis faktor-faktor terjadinya peristiwa tersebut. Hal ini yang membuat penanganan konflik bisa lebih efektif dan humanis.

“Kekerasan memang bagian dari kehidupan, tetapi merupakan bentuk abnormal yang harus kita hindari,” kata Chaiwat Satha-Anand, Guru Besar Ilmu Politik dari Universitas Thammasat, Thailand, ketika ditemui Kompas, Selasa (6/10) pagi.

Satha-Anand mengambil contoh konflik yang berkecamuk di negara-negara di Timur Tengah, seperti Irak, Suriah, dan Yaman. Ia menganalisis bahwa peristiwa-peristiwa kekerasan tersebut merupakan hasil mengerikan dari kebijakan buruk yang berusaha mengubah tatanan kekuasaan yang ada, bukan sekadar kesalahan satu orang atau pihak tertentu.

Cara pandang ini, menurut dia, adalah cara ajaran Buddhisme memandang masalah. “Pertanyaannya bukan ‘siapa penyebab derita?’, melainkan ‘apa penyebab derita?’. Ini yang memungkinkan kita memahami konflik tanpa menimbulkan konflik lain,” tutur Satha-Anand. Visi yang mempertimbangkan sebab, akibat, dan kemungkinan ini sangat cocok diterapkan oleh para pembuat kebijakan.

“Ketika kekerasan terjadi, kebijakan untuk politik kekuasaan, energi, ekonomi, dan keserakahan merupakan faktor-faktor yang utama,” ujarnya.

Antikekerasan

Setelah memahami penyebab kekerasan, diperlukan tindakan untuk menghentikan dan menyelesaikan permasalahan. Caranya adalah dengan menerapkan metode nirkekerasan. Hal ini terkesan sukar mengingat banyak keterlibatan emosi, seperti amarah dan dendam, di dalam sebuah konflik.

Namun, menurut Satha-Anand, sepanjang sejarah manusia, hal-hal penting lebih banyak terjadi akibat gerakan perdamaian dibandingkan daripada kekerasan. Sebuah perjuangan demi mencari perdamaian hendaknya meninggalkan cara-cara yang menyakiti orang banyak. Contohnya gerakan anti apartheid yang dilakukan oleh Nelson Mandela di Afrika Selatan dan people’s power yang mengakhiri kediktatoran Ferdinand Marcos di Filipina.

Ia menuturkan bahwa Indonesia dari segi sejarah merupakan contoh yang baik. Budaya yang beragam membuat masyarakat saling mengenal dan bernegosiasi di dalam menyelesaikan permasalahan. “Perlu diingat, kekerasan memang sifat manusia, tetapi sedikit sekali manusia yang menggunakannya untuk mendapat hal yang mereka mau. Mayoritas manusia menggunakan ajakan atau persuasi kepada orang lain,” kata Satha-Anand.

Satha-Anand selain Guru Besar Ilmu Politik juga menjabat sebagai Direktur Komisi Strategis Nirkekerasan yang melakukan penelitian serta memberi solusi kebijakan nirkekerasan di dalam menghadapi konflik di Thailand. Ia berada di Indonesia untuk memberi kuliah di Universitas Paramadina Selasa (5/10). Rencananya, pada hari Kamis (8/10) ia juga akan memberi kuliah mengenai gerakan nirkekerasan untuk perdamaian di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Oleh Laraswati Ariande Anwar, Sumber http://print.kompas.com/baca/2015/10/06/Memandang-Kekerasan-secara-Epistemologis