Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru: Negara, Pasar, dan Cita-cita Keadilan

Menemukan Konsensus Kebangsaan Baru: Negara, Pasar, dan Cita-cita Keadilan

Dalam empat tahun terakhir kinerja perekonomian Indonesia mengundang decak kagum banyak kalangan luar negeri.  Indonesia adalah satu-satunya negara yang selama 2009-2012 menunjukkan kecenderungan ( trend) pertumbuhan ekonomi yang tidak menurun di tengah terpaan krisis ekonomi global yang belum berkesudahan sejak 2008.

Memang, sangat banyak perkembangan positif hadir bersamaan setelah sekitar satu dasawarsa berangsur bangkit dari krisis ekonomi yang sangat parah pada tahun 1998. Perubahan-perubahan mendasar dalam perkembangan politik, sosial, dan demografi turut mengiringi perubahan sosok perekonomian.

Namun, tak sedikit pula perubahan mendasar yang menimbulkan keprihatinan mendalam dan kemunduran, seperti: terkikisnya kedaulatan pangan, energi, dan finansial. Juga terjadi perlemahan sektor industri manufaktur sebagaimana ditandai oleh defisit perdagangan sektor ini sejak tahun 2008. Wajah ketenegakerjaan dan kemiskinan juga masih tetap suram. Lebih mengkhawatirkan lagi adalah ketimpangan, baik ketimpangan pendapatan, ketimpangan antarsektor, maupun ketimpangan antardaerah.

Kita masih jauh dari cita-cita kemerdekaan. Peta jalan untuk mewujudkan cita-cita tersebut tak kunjung jelas. Bahkan 67 tahun belum juga cukup untuk sekedar memilih kendaraan yang hendak kita tumpangi menuju cita-cita kemerdekaan. Kita sibuk bersilang-sengketa dengan pijakan yang rapuh, sehingga kerap pendulum bergerak ekstrem, bukannya menuju konvergensi. Di dalam relung gelap, para pemimpin kerap terbentur pada bebatuan besar dan terantuk-antuk menapaki titian.

Kita merasa telah menempuh perjalanan jauh, tetapi sebenarnya hanya berputar-putar, tak jauh beranjak dari titik awal. Di tengah deru modernitas, kita kembali terseret ke sosok perekonomian ekstraktif (extractive economy). Reformasi ekonomi masih meninggalkan sosok institusi ekonomi ekstraktif (extractive economic institutions) yang kental. Demikian pula dengan gelombang demoktratisasi yang masih saja membuat belum beranjak dari sosok instutusi politik ekstraktif (extractive political institutions).

Nurcholish Madjid (Cak Nur) memandang bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih dalam pertumbuhan “penjadian diri” (in making). Sudah sepantasnya kita lebih sigap untuk mendefinisikan dan menetapkan kendaraan yang kita pilih agar roh keadilan hadir dalam setiap langkah kebijakan lewat transformasi dari exctractive economic institutions menjadi inclusive economic institutuions dan dari exctractive political institutions menjadi inclusive political institutions.

Inklusi institusi politik dan ekonomi akan mendorong partisipasi luas masyarakat dalam berpolitik dan berekonomi yang dilengkapi dengan jaring-jaring pengaman yang mumpuni, lebih menjamin redistribusi kekayaan nasional, sehingga keadilan sosial lebih mungkin terwujud. Dengan kontrak sosial baru yang menyeimbangkan peran komunitas bisnis, komunitas politik dan civil society,niscaya Indonesia bakal menjadi negara besar, berkeadilan sosial, dan sejahtera.

 

[wpfilebase tag=file id=67 tpl=download-button /][wpfilebase tag=file id=68 tpl=download-button /]

[wpfilebase tag=file id=69 tpl=download-button /][wpfilebase tag=file id=70 tpl=download-button /]

[wpfilebase tag=file id=71 tpl=download-button /]