Mengapa Pemilih Miskin Memilih Partai Elit?

Mengapa Pemilih Miskin Memilih Partai Elit?

Mengapa kalangan yang terpinggirkan kerap memilih partai elit yang berlawanan dengan kepentingan materialnya? Dalam bukunya, Elite Parties, Poor Voters (2014), Tariq Thachil, Profesor Ilmu Politik di Yale University, mengkaji paradoks tersebut di India, demokrasi terbesar di dunia. Lewat analisis makro dan mikro, ia menjabarkan bagaimana partai elit berhasil menarik suara kalangan bawah dengan menyediakan layanan sosial dasar melalui lembaga jaringannya, sambil tetap membela kepentingan kalangan atas.

Buku Thachil tersebut dibedah dalam Reading in Social Sciences (RISOS), forum bulanan di PUSAD Paramadina untuk melatih tinjauan kritis peneliti terhadap hasil studi. Yang menjadi penyaji dan penanggap dalam pertemuan kali ini adalah Irsyad Rafsadi dan Siswo Mulyartono dari PUSAD Paramadina. Forum ini diampu oleh Sana Jaffrey, kandidat doktor Ilmu Politik di University of Chicago dan peneliti tamu di PUSAD Paramadina.

Thachil bertolak dari dua perkembangan yang berlawanan di India selama satu dasawarsa terakhir. Pertama adalah naiknya partai nasionalis Hindu, Bharatiya Janata Party (BJP) yang sangat elitis. Kedua adalah menguatnya mobilisasi kalangan non-elit, kaum terbawah dalam sistem kasta India, Dalit dan Adivasi. Mereka terpinggirkan dari segi sosial dan ekonomi dan tampak mustahil memilih BJP yang terang-terangan membela sistem kasta dan ekonomi liberal. Tapi nyatanya di beberapa pemilu terakhir, banyak dari mereka memilih BJP.

Penjelasan-penjelasan yang disediakan ilmu politik selama ini tidak memuaskan bagi Thachil. Menurutnya pilihan mereka jelas bukan dipengaruhi program kebijakan partai, karena kini BJP malah tampak kian liberal. Ini juga bukan karena patronase, karena fungsionaris BJP sangat enggan merangkul pemuka kasta bawah. Penggunaan isu-identitas juga tak cukup ampuh. Perolehan suara BJP dari kalangan bawah di banyak daerah justru berkorelasi negatif dengan tingkat kekerasan Hindu-Muslim.

Thachil kemudian mencari penjelasannya dalam layanan sosial dasar yang disediakan organisasi non-partai dalam lingkup gerakan nasionalis Hindu. Analisisnya terhadap data National Election Survey 2004 menemukan bahwa kalangan atas dan kalangan bawah mendukung BJP dengan alasan yang berbeda. Jika kalangan atas mendukung karena platform kebijakan partai, kalangan bawah memilih karena manfaat yang diperoleh dari lembaga non-partai tersebut.

Lembaga non-partai yang dimaksud adalah Seva Bharati dan Vanvasi Kalyan Ashram. Keduanya, sebagaimana BJP, berada di bawah payung gerakan nasionalisme Hindu. Tapi mereka hanya fokus menyediakan layanan sosial, yaitu pendidikan, kesehatan, dan pelatihan keterampilan. Keduanya sudah ada sejak lama (masing-masing 1979 dan 1952) tapi baru berkembang pesat selama dua dasawarsa terakhir. Sebelumnya kegiatan mereka hanya bersifat periodik saja, seperti memberikan bantuan terhadap korban bencana.

Thachil menemukan bahwa perkembangan pesat dua lembaga sosial ini berkaitan dengan kenaikan suara BJP dari pemilih marjinal. Dia membuat indeks kasar dengan membagi jumlah cabang lembaga layanan di suatu negara bagian dengan populasi Dalit dan Adivasi setempat. Indeks ini berkorelasi positif dengan perolehan suara BJP pada 2004. Bahkan, jika dilihat dari 1996, pertumbuhan keduanya pun berkaitan. 10% kenaikan indeks layanan sosial membawa peningkatan sekitar 4,5% perolehan suara BJP dari Dalit dan Adivasi.

Tapi strategi layanan sosial ini ternyata tak berhasil secara merata di semua wilayah. Ini mendorong Thachil untuk masuk lebih jauh lagi dan mencari tahu mekanismenya dari dekat. Ia melakukan observasi dan wawancara rumah tangga dari 2007-2010 di tiga negara bagian, Chhattisgarh, Kerala dan Uttar Pradesh. Ia menemukan bahwa keberhasilan strategi layanan sosial dipengaruhi oleh ketersediaan layanan sosial tandingan serta jenis mobilisasi dari partai tandingan di daerah setempat.

Di bagian penutup, Thachil mencoba menggunakan temuannya ini untuk membaca konteks yang lebih luas. Menurutnya pola serupa dapat ditemukan di negara lain, di mana ada partai elit yang dituntut untuk menarik suara pemilih miskin tanpa melepaskan basis pendukungnya yang kaya. Tapi strategi ini hanya dapat dilakukan oleh partai dengan aset organisasi berlimpah. Contohnya adalah partai-partai keagamaan seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, Islah di Yaman dan Partai Keadilan Sejahtera di Indonesia.***