Menunaikan Kewajiban Islam dengan Aksi Nirkekerasan

Menunaikan Kewajiban Islam dengan Aksi Nirkekerasan

Di foto hitam putih itu tampak seseorang pemuda digantung di bawah pohon, dipukuli beramai-ramai, disaksikan sekerumun orang. Universitas Thammasat, Bangkok, 6 Oktober 1976, demikian keterangan di bawahnya. Chaiwat Satha-Anand yang ketika itu baru saja lulus mengenang peristiwa berdarah di alamamaternya ini dengan getir. “Bukan pengeroyokan itu yang paling membuat saya ngeri hingga kini,” kenangnya, “tapi orang-orang di sekeliling yang menonton, menyoraki dan bertepuk tangan.”

Begitulah Guru Besar Universitas Thammasat ini mengawali kuliahnya pada Nurcholish Madjid Memorial Lecture yang dipandu Sana Jaffrey, peneliti tamu di PUSAD Paramadina. Kuliah disampaikan di Universitas Paramadina, Jakarta, pada Selasa, 6 Oktober 2015, persis bertepatan dengan peringatan ke-39 peristiwa yang dikenang sebagai Pembantaian Thammasat di atas. Tapi peristiwa ini disinggung bukan karena kecocokan tanggalnya saja. Lebih dari itu, ia telah menjadi tonggak penting dalam karier Chaiwat sebagai pemikir dan pegiat nirkekerasan.

Chaiwat sudah muak dengan kekerasan, dan tampaknya ingin agar hadirin juga merasakan hal yang sama. Kali ini dia memperlihatkan foto jasad balita yang terkapar di pinggir pantai. Kejadiannya baru sebulan lalu, 12 September 2015. Aylan Kurdi, nama bocah malang itu, dan keluarganya tengah mengungsi dari Kobani, Suriah, yang luluh lantak oleh perang sipil, ketika kapal mereka terbalik. “Ini mestinya tak perlu terjadi,” sesal Chaiwat, “dan bocah ini mestinya masih hidup sekarang.”

Perlu dicatat bahwa muak dengan kekerasan bukan berarti diam dan menutup mata. Kebalikan dari itu, menurut Chaiwat, “kita justru harus marah.” Tapi marah saja tak cukup, itu hanya permulaan saja, masih harus dilanjut dengan riset dan aksi. Chaiwat memutuskan untuk mencurahkan hidupnya untuk meneliti dan menggiatkan aktivisme nirkekerasan, yang ia yakini sebagai pilihan satu-satunya bagi setiap Muslim yang hendak melawan ketidakadilan di zaman sekarang.

Baginya hanya jalan nirkekerasan-lah yang memungkinkan seorang Muslim untuk menunaikan dua prinsip agamanya sekaligus, melindungi nyawa tak berdosa dan memerangi ketidakadilan di dunia. Inilah tesis utama Chaiwat dalam pidatonya, juga dalam buku terbarunya yang diluncurkan di awal acara, yang menurutnya adalah saripati karya-karyanya selama lebih dari tiga dasawarsa. Tesisnya itu dia pertahankan dengan menunjukkan dalil-dalil agamanya, bukti-bukti empirisnya, dan sejarahnya.

Ayat ke-32 dari surat Al-Maidah menjadi titik tolak utama Chaiwat dan bahkan diambil sebagai judul pidato dan judul bukunya, untuk menunjukkan kewajiban Islam yang tak bisa ditawar-tawar, melindungi nyawa manusia. Tetapi persoalannya, Islam juga memerintahkan umatnya untuk memerangi ketidakadilan, kadang sampai menghalalkan nyawa. Bagaimana agar perjuangan melawan ketidakadilan dapat dilakukan tanpa mengorbankan nyawa? Di sinilah Chaiwat menawarkan senjata khusus bernama aksi nirkekerasan.

Ada banyak bukti bahwa nirkekerasan adalah senjata khusus yang cukup ampuh, ini poin kedua kuliah Chaiwat. Dia khas karena mampu memilah-memilah dan menempatkan lawan sesuai konteks, tidak membabi buta sebagaimana senjata pada umumnya. Dia juga ampuh karena, seperti temuan Chenoweth dan Stephan (2011), yang meneliti kampanye nirkekerasan antara 1900 sampai 2006, “hampir dua kali lipat lebih berhasil ketimbang kampanye dengan kekerasan.” Ringkasnya, aksi nirkekerasan itu ada dasar agamanya dan ada bukti empiris mengenai keampuhannya.

Sejauh mana kedua hal itu dapat berjalan bersama di dunia Islam? Pada poin ketiga kuliahnya, Chaiwat menunjukkan bahwa umat Musim sudah ikut berperan membentuk sejarah aksi nirkekerasan dalam memperjuangkan keadilan. Dia mengulas peran Muslim dalam kelahiran Satyagraha pada aksi 11 September 1906 di wilayah Transvaal, yang telah menginspirasi berbagai gerakan nirkekerasan di seluruh dunia. Kontras dengan 11/9 versi 2001 yang melekatkan citra kekerasan pada umat Muslim, Chaiwat menyebut 11/9 versi abad lalu ini sebagai tonggak nirkekerasan Muslim.

Chaiwat menutup kuliahnya dengan menegaskan kembali aksi nirkekerasan sebagai jalan ketiga, dan satu-satunya bagi setiap Muslim, yang tak harus mengorbankan nyawa, ataupun mengorbankan cita-cita keadilan. Argumennya tersedia lengkap, mulai dari yang sakral, moral, hingga pragmatis. Ini memang bisa membuat argumennya tampak lebih meyakinkan dan tahan dari berbagai sanggahan. Tapi ini juga dapat membingungkan, seperti terlihat dalam sesi tanya jawab.

Jadi apakah dalam Islam, membunuh manusia itu secara intrinsik salah, tanpa bisa ditawar-tawar (soal sakral); atau apakah ia hanya salah jika pelaksanaannya tak bisa memilah mana “manusia pendosa” dan “bukan pendosa” (soal moral); ataukah dia tidak dianjurkan karena tak mangkus “belaka” (soal pragmatis)? Soal yang sakral buat sebagian boleh jadi “cuma” urusan moral atau pragmatis buat yang lain.

Meski pada mulanya argumen Chaiwat bertolak dari kesakralan nyawa manusia (QS. V:32), dia mengakui bahwa bukan berarti Islam tak mengajarkan kekerasan. Islam, sebagaimana agama pada umumnya, kerap berwajah ganda. Tapi Chaiwat buru-buru menekankan dua hal. Pertama, Islam tak sebegitu pretensius, kekerasan ada di ranah moral, punya dasar dan ketentuannya, dan itu sama sekali tak mudah. Kedua, Islam dan semua agama pada umumnya tak pernah jadi faktor penyebab langsung kekerasan. Seperti halnya budaya, ia sering hanya dijadikan dalih. Semakin dekat agama dengan kuasa, semakin condonglah ia pada kekerasan.

Poin terakhir soal kiprah Muslim dalam politik ini menjadi perhatian khusus Chaiwat di bagian kedua bukunya, yang diangkat dalam kuliah umumnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Ketika yang sakral makin sulit dipisahkan dengan yang duniawi, bagaimana seharusnya umat Muslim bersikap? Jawaban Chaiwat dan catatan kuliah di UGM selengkapnya diulas di tulisan berikutnya.***