Merdeka dari Intoleransi: Kiprah Anak Muda Dalam Binadamai

Merdeka dari Intoleransi: Kiprah Anak Muda Dalam Binadamai

Maraknya penggunaan media sosial dan keterbukaan informasi di kalangan anak muda memungkinkan mereka sebagai kelompok yang rentan tersusupi oleh pikiran intoleran. Demi merawat keragaman dan semangat toleransi, Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina bekerjasama dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar nobar dan bedah film The Imam and Pastor, dengan dukungan dari Yayasan TIFA.

Mengangkat tema ‘Merdeka dari Intoleransi, Konflik Sektarian: Pengalaman Nigeria & Indonesia,’ acara digelar di basecamp PSI dengan menghadirkan Wimar Witoelar (Juru Bicara era Presiden Abdurrahman Wahid), Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) dan Grace Natalie (Ketua Umum PSI). Dihadiri delapan puluhan anak muda, nobar dan diskusi ini memperkenalkan dua tokoh binadamai dari Nigeria; Imam Ashafa dan Pastor James. Mereka adalah kelompok milisi konflik di Nigeria yang dulu berniat saling bunuh, kini giat menyuarakan perdamaian ke seluruh dunia.

Dalam paparannya, Wimar Witoelar menekankan bahwa konflik antar-agama membahayakan eksistensi pluralisme di Indonesia. Ia menegaskan mengenai pentingnya kembali identitas Indonesia yang dibentuk berdasarkan konsensus dan semangat kebangsaan. Konflik di Nigeria merupakan contoh menarik untuk Indonesia sebab kedua negara ini mengalami proses demokratisasi dengan rentang waktu yang hampir sama.

lebih lanjut, direktur PUSAD Paramadina Ihsan Ali-Fauzi memantik diskusi dengan audiens mengenai perdebatan terkini soal agama dan perdamaian. Menurutnya, film ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis komunitas merupakan hal yang patut dikaji lebih dalam, bukan hanya pendekatan berbasis hak. Kerjasama Islam-Kristen melalui film The Imam and The Pastor merupakan interaksi damai di level akar rumput. Menurut Ihsan, Indonesia sangat berpotensi melahirkan pegiat binadamai dengan banyaknya organisasi masyarakat sipil seperti Nahdlatul Ulama (NU) di berbagai wilayah. “Dari film tersebut, kita belajar bahwa menjadi penggiat binadamai dibutuhkan pengetahuan yang mumpuni, keterampilan dan independensi,” pungkasnya.

Selaku tuan rumah, Grace Natalie menyambut positif kegiatan ini. “Ini baru kali pertama PSI bersinergi dengan lembaga penelitian menggelar nobar dan diskusi,” jelasnya. Grace juga mengungkapkan bahwa intoleransi harus menjadi tanggungjawab kita bersama untuk memberantasnya. Indonesia ditempatkan sebagai salah satu negara terburuk terkait isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) menurut Pew Research Center. “Atas dasar ini, selaku partai yang terbuka akan input dari banyak pihak, PSI sangat terbuka bagi penyelenggaraan kegiatan lain demi memperkaya pengetahuan anak muda di Indonesia,” pungkas Grace.***