Norma Baru dan Kesiapan Komunitas Agama

Norma Baru dan Kesiapan Komunitas Agama

Setelah hampir lima bulan berlalu, pemerintah telah menyiapkan skenario baru dalam menghadapi Covid-19. Pemerintah Indonesia akan menerapkan tatanan normal baru (new normal), tujuannya adalah agar geliat ekonomi sektor riil dapat berangsur pulih. Kendati begitu, kondisi sekarang tidak memungkinkan untuk penerapannya, terlebih transmisi Covid-19 semakin meningkat. Selain itu terdapat bias makna dalam istilah normal baru. Istilah ini seolah menggambarkan bahwa kondisi sudah sangat baik karena masyarakat sudah bisa berkegiatan seperti sedia kala.

Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina mengangkat tema penggunaan kata “norma baru” yang diartikan di mana masyarakat harus melakukan kebiasaan baru dengan menerapkan protokol kesehatan agar terhindar dari Covid-19. Sejauh mana masyarakat siap melakukan kebiasaan baru? Bagaimana dengan kesiapan kelompok-kelompok agama? Dalam rangka hal tersebut, PUSAD Paramadina menggelar silaturahmi dan diskusi virtual bertajuk, “Norma Baru dan Kesiapan Komunitas Agama” pada Jumat, 19 Juni 2020.

Rifki Taofiq Sidqi, Direktur LK Kompas Tasikmalaya, memandu silaturahmi dan diskusi yang dilaksanakan secara virtual melalui aplikasi telekonferensi Zoom ini. Diskusi yang dihadiri 123 peserta ini mengundang Adeste Adipriyanti, Kepala Divisi Konten Narasi, Edeng ZA, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Tasikmalaya, Irma Hidayana, Lapor Covid-19, dan Husni Mubarok, Peneliti PUSAD Paramadina.

Panitia mengawali diskusi dengan pemutaran film dokumenter garapan Narasi TV bersama PUSAD Paramadina yang berjudul “Cerita Pandemi: Keberagaman di Tengah Corona.” Selaku pembicara pertama, Adeste Adipriyanti bercerita tentang gagasan di balik pembuatan film ini. “Narasi TV menggarap film dokumenter tersebut,” papar Adeste, “sebagai manifestasi dari nilai toleransi yang adalah satu dari nilai utama Narasi TV.” Di samping itu, Narasi TV juga ingin menyampaikan berita-berita positif kepada masyarakat yang selama pandemi ini dibanjiri oleh pemberitaan negatif dari berbagai media. Adeste juga menyampaikan peran media di masa normal baru adalah sebagai pengingat kepada masyarakat agar tetap menjalankan protokol kesehatan.

Sementara itu, Edeng ZA memaparkan bagaimana FKUB Tasikmalaya berperan aktif dalam mengedukasi masyarakat tentang bahaya Covid-19. Masyarakat membutuhkan edukasi berupa pemahaman seputar Covid-19 agar mau mematuhi protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah. Pemahaman yang menyeluruh juga akan memudahkan proses pemakaman jenazah pasien positif Covid-19, “Kami juga memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak menolak jenazah pasien Covid-19, mereka harus berempati dengan sesamanya,” kata Edeng.

Selama ini FKUB Tasikmalaya bersama pemerintah kabupaten, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) memberikan bantuan sosial kepada masyarakat terdampak Covid-19. Edeng menyarankan kepada pemerintah agar tokoh-tokoh agama pun diberikan bantuan, karena menurutnya banyak tokoh agama yang kehilangan pekerjaan, hal yang demikian harus dilakukan agar peran tokoh agama di masyarakat bisa optimal bekerja.

Dalam menghadapi normal baru ini FKUB Kabupaten Tasikmalaya telah mempersiapkan protokol kesehatan di setiap rumah ibadah yang akan diawasi oleh TNI dan Polri. Dalam proses pembukaan rumah ibadah, FKUB Kabupaten Tasikmalaya terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan masyarakat, tokoh agama, MUI, Muspika, dan ormas setempat. Edeng mengungkapkan peran besar yang dilakukan FKUB Kabupaten Tasikmalaya dalam menangani Covid-19 karena FKUB dimasukan ke dalam Gugus Tugas Penanganan Covid-19.

Menyikapi normal baru yang akan diterapkan pemerintah, pegiat lapor Covid-19 Irma Hidayana terlebih dahulu menarik persoalan ini ke belakang. Menurutnya sejak awal Covid-19 masuk ke Indonesia pemerintah lamban dalam menanganinya dan tidak transparan saat menyajikan data ke publik. Dua hal tersebut yang menyebabkan penanganan Covid-19 di Indonesia termasuk yang terburuk. Irma juga mempertanyakan jumlah tes Polymerase Chain Reaction (PCR) yang sudah dilakukan, menurutnya data yang sekarang ada belum mewakili data riil di lapangan.

Di tengah persoalan itu, pemerintah mengambil inisiatif untuk memberlakukan normal baru. Sebuah sikap yang menurut Irma kurang bijaksana karena angka pasien positif masih terus meningkat. Saat normal baru diterapkan secara tidak langsung pemerintah sudah menyerahkan kepada masing-masing individu untuk melindungi dirinya sendiri dari Covid-19.

Perihal bantuan sosial, senada dengan Edeng, Irma juga menyarankan agar para pemuka agama diberikan insentif oleh pemerintah, karena sejauh ini bantuan sosial hanya diperuntukan bagi masyarakat umum saja. Tidak hanya mengandalkan pemerintah, masyarakat juga harus bergotong-royong menangani Covid-19 ini.

Husni Mubarok memaparkan pandangan berbeda terhadap normal baru. Menurutnya, istilah itu lebih tepat dikatakan “Norma Baru” karena masyarakat akan memulai kebiasaan baru dalam beraktivitas dengan menerapkan protokol kesehatan. Istilah normal baru, menggambarkan seolah-olah kondisi sudah normal kembali karena diperbolehkannya aktifitas seperti biasa. Norma baru yang akan diterapkan pemerintah adalah tindakan mengompromikan kesehatan dan ekonomi yang cukup berisiko memunculkan gelombang kedua Covid-19.

Selama pandemi Covid-19 PUSAD Paramadina mencatat beberapa tantangan dan peluang  yang  ada di masyarakat. Pertama, ketimpangan terjadi di sektor pelayanan kesehatan, ekonomi, dan akses informasi. Kedua, ketegangan seputar praktik sosia-keagamaan, misalnya saat mall dibuka sedangkan rumah ibadah belum dibuka. Ketiga, diskriminasi yang dialami oleh masyarakat karena berbeda agama dan etnis, atau yang berprofesi sebagai tenaga medis. Dan keempat banyaknya misinformasi dan disinformasi di media sosial. Di balik tantangan tersebut ada peluang yang muncul yaitu, besarnya kapasitas kepedulian terhadap sesama dan kelompok rentan, dan adanya potensi kerja sama untuk kemaslahatan bersama.

Kedua peluang tersebut di atas didukung oleh sumber daya keagamaan yang mumpuni, di antaranya menguatnya dukungan keagamaan terhadap pencegahan wabah, luasnya bidang pelayanan organisasi keagamaan, wibawa dan pengaruh pemuka agama, serta kedekatan kelompok keagamaan dengan komunitas lokal  yang berfungsi sebagai simpul informasi. Kendati dukungan organisasi keagamaan menunjukan tren positif, ada beberapa hal yang masih perlu ditingkatkan seperti, kemitraan lintas sektor yang efektif antara tokoh agama dengan epidemolog, Lapor Covid-19, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan Ormas. Memperluas wawasan terkait krisis secara kritis, mengidentifikasi dan menerapkan norma-norma baru di tengah krisis akibat wabah, memperbanyak pijakan bersama dan memupuk rasa saling percaya, dan melintasi sekat-sekat komunal.

Setelah pemaparan para narasumber, acara dilanjutkan dengan sesi tanya-jawab bersama peserta dikusi. Di akhir diskusi semua narasumber memberikan beberapa catatan penting, yaitu bagimana masyarakat harus kritis saat menerima dan menyebarkan informasi di tengah banyaknya disinformasi dan misinformasi, pemuka agama harus dilibatkan langsung dalam menangani Covid-19 di tingkat akar rumput karena mereka lah yang lebih dekat dan didengarkan oleh masyarakat, dan masyarakat harus saling bahu-membahu dalam menghadapi pandemi Covid-19.***