Pola-pola Persepsi Belanda terhadap Islam di Indonesia

Pola-pola Persepsi Belanda terhadap Islam di Indonesia

Karel Steenbrink, Dutch Colonialism and Indonesian lslam: Contacts and Conflicts 1596-1950, translated from the Dutch by Jan Steenbrink  and Henry Jansen (Amsterdam Rodopy, 1993), 170 pp.

Di dunia kesarjanaan Barat, sejauh ini sudah tersedia beberapa literatur yang mencoba mengungkap persepsi Barat tentang Islam (agama lslam, dunia Islam dan kaum Muslim). Beberapa di antaranya, langsung maupun tidak, juga membicarakan implikasi-implikasi persepsi itu terhadap pembentukan sikap dan perilaku yang pertama terhadap yang kedua serta reaksi-reaksi balik Islam terhadapnya.

Dalam bahasa Inggris, yang paling terkenal di antaranya adalah karya monumental sejarawan Norman Daniel, “Islam and the West: The Making of an Image”. Buku ini pertama kali terbit pada 1960, dan sejak itu sudah mengalami beberapa kali cetak ulang. Terucama berdasarkan  sumber-sumber yang ditulis para pemuka Gereja antara 1100 dan 1350, Daniel secara lugas dan cukup rinci mengungkap pembentukan dan perkembangan mispersepsi, prasangka, dan antipati Barat-Kristen terhadap Islam dalam berbagai seginya: al-Qur’an, kehidupan  Muhammad, doktrin jihâd, peran kaum Muslimah dan harem, moralitas Islam, sikap terhadap agama lain dan pengikutnya sendiri. Menurutnya, semuanya itu terutama terbentuk pada masa berlangsungnya Perang Salib (Crusade), dan tidak banyak mengalami perubahan sejak itu. Dan, dengan penuh keyakinan, ia menyatakan di awal bukunya, “[r]eaksi-reaksi Kristen yang paling awal terhadap Islam sama saja dengan apa yang berlangsung sekarang. Tradisinya  terus berlangsung  dan tetap hidup dewasa ini.”

Dua tahun setelah karya Daniel, terbit karya R.W. Southern, Western Viewsof Islam in the Middle Age, berisi tiga ceramahnya di Universi­ tas Harvard, Amerika Serikat. Sambil secara eksplisit menyatakan mendasarkan diri kepada temuan-temuan Daniel, Southern mencoba melihat berbagai pandangan Barat mengenai Islam dalam konteks sosial-politik yang juga berubah di Eropa Abad Pertengahan—periode yang juga menjadi cakupan studi Daniel. Karenanya, berbeda dari Daniel, ia menemukan perkembangan yang lebih dinamis dalam persepsi Barat tentang Islam, meskipun arus utamanya tetap persepsi atau prasangka buruk dan kebencian yang menyertainya. Ia, misalnya, panjang-lebar mengupas peran yang dimainkan Raymund Lull (w. 1316), John Wycliffe (w. 1384) dan—khususmya—“trio” Yohanes dari Segovia  (w.  1458), Nicolaus dari Cusa (w. 1464) dan Aeneas Silvius (w. 1464) dalam mengupayakan pendekatan yang lebih baik kepada Islam dalam periode yang disebutnya “Masa-masa Pencerahan” (Moment of Vision).2

Gambaran yang lebih bernuansa lagi diberikan oleh Islamolog Prancis, Maxime Rodinson, dalam esainya “The Western Image and Western Studies on Islam”. Esai yang pertama kali terbit pada 1974 ini diperluas cakupannya dan diterbitkan dalam bentuk buku Europe and the Mystique of Islam pada 1987.1 Meskipun ringkas, studi Rodinson mencakup masa yang panjang: dari awal perjumpaan keduanya hingga pertengahan abad ke-20. Sementara itu, ia juga mencoba melihat pembentuk persepsi Barat mengenai Islam dalam faktor-faktor yang lebih luas: hubungan perdagangan, minat akan dunia Timur, kuriositas keilmuan (Orientalisme), dan lainnya, selain—tentu saja—kepentingan ekonomi-politik dan perseteruan ideologis Kristen-Islam.

Karya yang lebih belakangan, oleh Albert Hourani, Islam in European Thought, lebih menekankan apa yang ada dalam pemikiran Barat mengenai Islam, dari kalangan gereja, universitas, politisi, pengelana, dan lainnya. Karena itu, kita melihat potret yang lebih bernuansa lagi. Bahkan, Hourani menunjukkan semacam perseteruan antara pandangan liberal mengenai Islam, yang didasarkan kepada wawasan filsafat dan keilmuan tertentu (khususnya yang berkembang di Jerman dan Francis), dengan pandangan konservatif mengenai Islam, yang didasarkan kepada evangelisme Kristen (khususnya yang berkembang di Inggris). Kritik internal di dunia Orientalisme dan berkembangnya Islamologi, terutama keterlibatan beberapa sarjana Muslim dalam diskursus Islam di dunia Barat, sedikit-banyak mempengaruhi terbentuknya citra Islam yang lebih baik.

***

Karya-karya di atas, juga karya-karya lainnya, baik yang ditulis sarjana-sarjana Barat lain maupun sarjana-sarjana Muslim atau Timur, bervariasi dalam penekanan masing-masing kepada cakupan rnasa dan tokoh­tokoh yang dibahas. Namun demikian, dari karya-karya itu tampak bahwa—dalam sejarah panjang perjumpaan antara keduanya—yang pada umumnya berkembang di Barat adalah persepsi mengenai dan citra Islam yang amat buruk.

Pada masa awal-Islam, persepsi itu bisa dikatakan sepenuhnya dibentuk oleh konstruksi para tokoh Gereja mengenai Islam. Secara umum, di sini Islam dipandang tidak lebih dari penyimpangan atau bid’ah dari agama Kristen yang dianggap satu-satunya sumber kebenaran.

Hal yang sama, bahkan lebih parah lagi, juga berlangsung pada sebagian besar dunia Barat Abad Pertengahan. Hanya saja, akibat sikap defensif Barat, khususnya dunia Kristen, terhadap ekspansi kekhalifahan Islam yang meluas pesat saat itu, citra buruk Islam di Barat saat itu tampak makin tegas dan lengkap. Citra buruk itu terutama dihembuskan oleh imajinasi liar para penulis Kristen dan Barat pada umumnya yang menjelek-jelekkan Islam, al-Qur’an dan Nabi Muhammad, dan antara lain berfungsi sebagai dorongan psikologis bagi tentara-tentara Kristen yang pergi ke medan Perang Salib melawan tentara-tentara Islam.

Untuk sebagian besar, persepsi buruk di atas tidak berubah, meski sedikit agak membaik, ketika dunia Barat memasuki masa Reformasi dan Renaisans. Disebut membaik, karena pada umumnya imajinasi liar yang menjelek-jelekkan Islam pada masa sebelumnya tidak lagi diterima oleh roh Renaisans. Sejalan dengan penghormatan tinggi pada akal budi pada masa ini, oleh beberapa sarjana dan pemikir Barat tertentu, Islam bahkan dianggap sebagai agama yang patut dipuji karena keselarasan ajaran-ajarannya dengan akal budi manusia. Meski demikian, citra buruk Islam pada masa ini muncul juga lantaran bias-bias kultural atau etnosentris—bahkan rasialis—yang didorong oleh Eurosentrisme yang berkembang pesat saat itu.

Review Buku ini dipublikasikan di Studia Islamika Volume 3, No 3, 1996.

Artikel lengkap:

[wpfilebase tag=file id=122 /]