Politik Layanan Kesehatan di Indonesia

Politik Layanan Kesehatan di Indonesia

Salah satu capaian besar Indonesia di awal 2016 adalah lebih dari 190 juta warga dilindungi oleh skema asuransi kesehatan nasional dan lokal melalui program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Walaupun tidak diwarnai dengan sambutan meriah, adanya BPJS Kesehatan ini patut diapresiasi sebagai salah satu keberhasilan demokrasi dan perjalanan panjang Indonesia dalam menyediakan layanan kesehatan universal yang terjangkau.

Isu jaminan kesehatan nasional ini diteliti oleh Kharisma Nugroho, sosiolog dan ahli monitoring dan evaluasi (M&E), bersama Maarten Kok dan Elizabeth Pisani. Hasil penelitian ini kemudian dibahas bersama Kharisma Nugroho dalam diskusi Ciputat School pada Jumat, 19 Februari 2016 lalu di Aula Futsal Camp, Ciputat, Tangerang Selatan.

Kharisma memaparkan bahwa penelitiannya berusaha melihat aspek lain dari BPJS yang selama ini hanya dilihat kualitas layanan dan cakupannya saja. Aspek lain yang berusaha untuk diteliti adalah aspek politik dan ekonomi untuk melihat siapa yang diuntungkan dan dirugikan dengan adanya BPJS Kesehatan. Selain itu, Kharisma berusaha mengupas sisi perubahan dan pendapat publik terkait fenomena “kesehatan gratis.”

Kharisma menemukan bahwa kemajuan menuju jaminan kesehatan nasional merupakan proses panjang yang berulang dan terus menerus didorong oleh kepentingan politik dalam negeri. Ia menemukan bahwa upaya ini ditentukan oleh perhatian politik dalam negeri seperti desentralisasi dan pemilu dan kepentingan sosial politik berbagai kelompok, termasuk pengambil kebijakan.

Desentralisasi membuka ruang eksperimen kebijakan yang memungkinkan untuk mengembangkan beberapa model layanan kesehatan di level daerah. Perhatian media dan politisi yang berusaha untuk meraih suara dalam pemilu membantu penyebaran isu layanan kesehatan. Dengan menggunakan janji adanya pelayanan kesehatan gratis, secara tidak langsung politisi membawa isu ini sebagai perhatian publik. Hal ini diadaptasi di daerah lain, bahkan di level nasional ketika pejabat tinggi berusaha mendapatkan kredit dengan adanya inovasi jaminan kesehatan.

Upaya mewujudkan jaminan kesehatan Indonesia diakui sebagai proses eksperimental, berulang, dan kompetitif. Hal ini memastikan fleksibilitas dan dinamisnya pengembangan jaminan kesehatan nasional karena proses ini tidak direncanakan dan pembelajaran lokal tidak dirangkum dengan baik. Selain itu, analisis teknis dan saran dari lembaga-lembaga internasional dan para ahli Indonesia baru diperhitungkan setelah kebijakan diputuskan karena alasan politik.

Untuk perbaikan implementasi BPJS, Kharisma mengusulkan bahwa upaya untuk pemenuhan layanan kesehatan harus bersinergi dengan sistem perpajakan. Ia juga berharap agar ada pendidikan publik untuk mendorong masyarakat memantau BPJS sekaligus memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak. Harus ada kesadaran dari masyarakat untuk mengurus BPJS dan pemahaman bahwa program ini menggunakan skema asuransi. Implementasi BPJS ini akan diteliti oleh Kharisma lebih lanjut.***