Radikal Dulu, Teroris Kemudian

Radikal Dulu, Teroris Kemudian

Sesudah masjid dan orang yang sedang salat Jumat di Cirebon menjadi sasaran bom bunuh diri, rangkaian kecaman sama-sama ditujukan kepada sang pelaku. Tak ada pihak yang saya ketahui memahami, bersimpati, apalagi mendukungnya. Semuanya mengutuk: dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hingga pentolan yang oleh media massa sering disebut “Islam garis keras”.

Senin (18 April 2011), koran ini melaporkan bahwa Muhammad Syarif (MS), yang diduga keras merupakan pelaku bom bunuh diri itu, memiliki hubungan dengan jaringan Aceh dan peristiwa pengeboman sejenis di tempat-tempat lain. Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dikutip menyatakan: “Kelompok bisa berbeda, tapi pasti ada tokoh di belakang kelompok yang terkait dengan jaringan induk.”

Dari laporan media lain kita juga menyimak bahwa keluarga korban sudah pasti mengakui sang pelaku sebagai MS. Ayahnya, yang oleh MS pernah dituduh kafir, bersyukur bahwa MS bunuh diri, karena potensi kerusakan akibat perbuatannya di kemudian hari bisa lebih besar. Dalam kesaksiannya yang direkam televisi, sambil berlinang air mata, sang ayah meminta maaf kepada para korban dan menyatakan bahwa aksi MS membuat dia dan keluarganya sangat malu.

Di tempat lain, kita juga mendengar tokoh seperti Abu Bakar Ba’asyir mengecam pengeboman oleh MS karena korbannya orang-orang yang sedang salat. Katanya, MS “sakit jiwa”. Front Pembela Islam (FPI) juga mengecam, menyatakan bahwa aksi itu “bukan jihad” dan meminta supaya aksi itu tak dikait-kaitkan dengan Islam.
Apa arti semuanya itu bagi pencegahan aksi-aksi kekerasan, apalagi terorisme, atas nama agama di masa depan? Bagi saya, pesannya jelas: jarak antara radikalisme dan terorisme itu tidak jauh-jauh amat. Jika kita serius memberantas terorisme, awasi sungguh-sungguh radikalisme dan sadarilah bahaya-bahayanya sedini mungkin.

Berbeda tapi terkait

Radikalisme dan terorisme tentu saja berbeda. Dalam demokrasi, sejauh tak berujung pada aksi-aksi kekerasan, radikalisme adalah barang halal. Sedang aksi-aksi teroris, yang inheren di dalamnya unsur penggunaan kekerasan, dengan sendirinya jelas haram.

Tapi radikalisme terkait dengan terorisme dalam beberapa segi. Pertama, terlepas dari beragamnya sebab, motif, dan ideologi di balik aksi-aksi teroris, semua upaya mencapai tujuan dengan cara-cara kekerasan terhadap warga sipil, apalagi aparat keamanan, selalu mengandung unsur radikalisme.

Dalam kasus MS, boleh jadi dia gila, seperti dikatakan Ba’asyir. Tapi bukankah diperlukan “kegilaan” tertentu untuk sampai pada kesimpulan bahwa yang dijadikan korbannya adalah masjid, atau polisi, atau jemaah yang sedang salat? Juga untuk pada kenyataannya melakukannya sendiri? Semua ini memerlukan pemikiran, sikap, dan perbuatan radikal, yang tak semua orang memilikinya.

Kedua, memang tak ada yang niscaya dalam transisi seseorang dari radikalisme ke terorisme. Dan, ya, tidak semua orang yang radikal berakhir sebagai teroris. Contoh-contoh yang kita kenal baik, bahkan studi yang serius, menunjukkan bahwa hanya sedikit orang yang radikal yang pada kenyataannya berakhir menjadi teroris.

Ini karena, untuk berhasil, dari potensial menuju aktual, aksi-aksi teroris juga bergantung pada faktor-faktor di luar diri sang teroris sendiri atau jaringannya, misalnya sejauh mana aparat keamanan atau masyarakat waspada atau tidak. Itu sebabnya, dalam literatur tentang terorisme, dikenal istilah “disengagement”: fakta bahwa seseorang menghindar dari melakukan aksi-aksi teroris karena dia tidak “mampu”, bukan tidak “mau”, melakukannya. Di sini, isi pikiran sang teroris tetap sama, tapi hal itu tidak berujung pada perbuatan teroris.

Tapi semua ini tak menutup fakta yang sangat jelas bahwa semua teroris, per definisi, tak mungkin tumbuh kecuali dari orang-orang yang radikal. Banyak data yang memperlihatkan bahwa para teroris memulai “karier” individualnya, dalam melakukan aksi-aksi kekerasan ekstremis, dengan pertama-tama menjadi seseorang yang radikal dan militan. Alasan inilah yang selalu mendorong kita untuk melihat latar belakang sejarah kehidupan seseorang yang terlibat dalam aksi-aksi teroris.

Hal ini dapat dengan mudah kita temukan dalam diri MS. Selain ayahnya sendiri dikafirkan dan karenanya dia bersyukur bahwa MS segera mati, MS sendiri dikenal sebagai seseorang yang radikal dan militan dalam merealisasi apa yang ada dalam pikirannya. Media massa kita punya rekaman yang cukup lengkap tentang bagaimana dia bertindak begitu brutal dalam berbagai aksi untuk membela kepentingannya, misalnya dalam aksi-aksi anti-Ahmadiyah. Bukankah fakta ini begitu jelas untuk kita sangkal?

Akhirnya, alasan ketiga, baik radikalisme maupun terorisme terkait dengan masyarakat. Inilah dimensi sosial keduanya. Bedanya: sementara ada masyarakat-masyarakat yang radikal, tapi tidak ada masyarakat-masyarakat teroris. Sekalipun demikian, aksi-aksi teroris mudah sekali tumbuh di dalam masyarakat-masyarakat yang radikal, di mana aksi-aksi terorisme tidak hanya memperoleh simpati, tapi juga dukungan.

Bagaimana menjelaskan aksi MS di Cirebon dari segi ini? Saya tak punya jawaban pasti. Tapi data Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang dirilis Maret 2005, menyatakan bahwa 1 dari 10 muslim Indonesia mendukung aksi pengeboman yang dilakukan Amrozi dan kawan-kawannya di Bali dulu. Bagi peneliti LSI, itu mencerminkan dukungan kepada “radikalisme keagamaan ketika diterjemahkan ke dalam cara kekerasan demi agama”.

Data lebih baru diperoleh dari survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) terhadap 1.600-an siswa dan guru agama Islam di SMP dan SMA muslim di Jabodetabek, yang dilakukan dari Oktober 2010 hingga Januari 2011. Hasilnya, 41,8 hingga 63,8 persen responden menyatakan mendukung intoleransi dan kekerasan terhadap warga non-muslim.

Seriuslah

Bagi saya, angka-angka di atas adalah alarm agar kita bangun dan waspada. Jangan bilang bahwa itu adalah data lama. Atau bahwa survei itu hanya dilakukan di Jabodetabek. Data itu menunjukkan bahwa ada atmosfer radikalisme di sini, ada kasus-kasus di mana jalan seseorang dari radikal menjadi teroris dipuji, dan kita rupanya memiliki kantong-kantong masyarakat radikal yang mendukung aksi-aksi teroris.

Mari kita sungguh-sungguh menyikapi penyakit ini dengan berhenti berpikir bahwa situasinya normal belaka. Tidak diperlukan banyak MS untuk mengganggu kebersamaan kita di negeri ini. Dan jalan menuju lahirnya MS-MS lain rupanya tidak terlalu asing di sini.

*) Ihsan Ali-Fauzi, Direktur Program Yayasan Wakaf Paramadina

Kolom Koran Tempo (19 April 2011)  http://www.tempo.co/read/kolom/2011/04/19/363/Radikal-Dulu-Teroris-Kemudian