Radikalisasi dan Deradikalisasi: Belajar dari Konflik Poso

Radikalisasi dan Deradikalisasi: Belajar dari Konflik Poso

Salah satu tantangan terberat yang dihadapi Indonesia pasca-reformasi adalah bagaimana mengelola hubungan antar-golongan bisa berjalan damai dan berkeadilan. Konflik kekerasan antar-agama di Poso, Sulawesi Tengah, yang terpanjang di Indonesia menawarkan banyak pelajaran berharga. Bukan hanya terkait radikalisasi tapi juga deradikalisasi.

Melengkapi studi mengenai konflik agama di Indonesia, telah hadir buku baru yang diterbitkan Marjin Kiri “Poso: Sejarah Komprehensif Kekerasan Antar agama Terpanjang di Indonesia pasca Reformasi” karya Dave McRae, peneliti dari Universitas Melbourne, Australia, yang melakukan penelitian mengenai konflik Poso selama kurun waktu sembilan tahun.

Dalam peluncuran buku dan diskusi publik “Radikalisasi dan Deradikalisasi di Indonesia: Pelajaran dari Kasus Poso” di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Senin, 23 Januari 2017, Dave McRae ditemani dua pemateri lainnya: Ihsan Ali-Fauzi Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina dan Solahudin (Co-Director Institute For Policy Analysis of Conflict).

Secara khusus, Dave memaparkan [wpfilebase tag=fileurl id=204 linktext=’bagaimana radikalisasi di Poso’ /] bisa mencapai titik ekstrim seiring datangnya kelompok mujahidin yang menyebarkan ideologi jihad di Poso. “Konflik ini merupakan arena bagi para jihadis untuk membangun radikalisme,” terang Dave. Pada awalnya, para mujahidin menjalin aliansi strategis dengan penduduk lokal demi melancarkan serangan balas dendam terhadap kelompok Kristen. Dave menekankan bahwa penerimaan agenda keagamaan akan mudah diserap jika konteks konflik yang terjadi tidak hanya memiliki muatan misionaris, tetapi juga menemukan momentumnya.

Pada kasus Poso, kedatangan mujahidin bertepatan dengan kondisi di mana hasrat balas dendam muslim lokal ada pada puncaknya, dan ketika ancaman kelompok Kristen juga terasa begitu nyata. Dengan demikian, Dave menyimpulkan bahwa radikalisasi di Poso sejalan dengan pandangan Scott Appelby, bahwa ideologi kelompok ektrimis akan mudah diterima jika kondisi konflik berada dalam tahap defensif, serta jika tafsir yang disebarkan sejalan dengan pengalaman hidup penganutnya.

Di sisi lain, dari segi terminologi serta praktik, [wpfilebase tag=fileurl id=202 linktext=’konsep mengenai deradikalisasi juga perlu ditinjau ulang’ /]. Menurut Ihsan Ali Fauzi, bisa diterapkan sebuah pola baru yang bertujuan agar para jihadis berhenti melakukan aksi teror. Konsep tersebut adalah disengagement (bahasa Indonesia: mengambil jarak dari). “Program deradikalisasi yang singkatnya berarti ‘cuci otak’ tidaklah mudah dijalankan,” ujar Ihsan saat menyampaikan materinya.

Karena tujuan utama adalah bagaimana seorang jihadis berhenti dari melakukan aksi-aksi teror, program disengagement merupakan hal yang paling mungkin ditempuh. Tindakan disengagement adalah tahap di mana para teroris berhenti melakukan kekerasan meskipun mereka belum mengalami deradikalisasi.

Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan seorang teroris berhenti melakukan teror. Pertama, meningkatkannya kapasitas negara dalam menangani terorisme sehingga para jihadis berpikir lebih jauh mengenai cost yang akan mereka tanggung. Kedua, mulai terbukanya hubungan personal dengan orang-orang di luar jaringan mereka (semisal keluarga atau saudara yang meminta para jihadis untuk berhenti). Dan faktor ketiga adalah timbulnya kekecewaan terhadap ideologi, taktik atau pemimpin organisasi teroris.

Sedangkan dari segi implementasi pemerintah, Solahudin membahas mengenai bagaimana institusi negara [wpfilebase tag=fileurl id=203 linktext=’mengelola program-program deradikalisasi di Indonesia’ /]. Secara umum, ia melihat bahwa sudah ada usaha dari pemerintah untuk menjalankan program deradikalisasi dengan menggunakan pendekatan berbasis riset. Melalui BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), pemerintah sudah melakukan beberapa langkah penanggulangan seperti kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Namun demikian, ia menilai bahwa upaya yang sudah dilakukan masih kurang maksimal. Pemerintah perlu melakukan riset yang lebih serius serta banyak mengutip literatur yang lebih otoritatif dalam mendefinisikan bahasan mengenai terorisme.

Buku Dave McRae mengenai Poso adalah sebuah hasil riset yang komprehensif dalam memetakan bagaimana awal mula dan dinamika konflik agama berlangsung begitu lama, tetapi tetap terpusat di satu daerah tertentu. Karya Dave juga memicu fokus penelitian di masa mendatang dalam melihat konflik Poso melalui lensa lain, semisal bagaimana keterlibatan perempuan baik sebagai pelaku konflik, maupun sebagai preventer/aktor pendukung perdamaian.

Selain itu, dalam tanggapan sejumlah peserta diskusi menilai perlu adanya pisau analisis yang lebih melihat bagaimana Poso dijadikan sebagai arena kontestasi gagasan ideologi serta basis wilayah cita-cita pembentukan syariat Islam. Keseriusan pemerintah dalam menangani program-program deradikalisasi di Indonesia sangatlah penting. Dalam hal ini BNPT bisa menggunakan praktik-praktik disengagement untuk membuat para pelaku teror berhenti melakukan aksi-aksi jihad dengan mengacu pada studi dan riset-riset mutakhir.***