Religion, Politics, and Violence in Indonesia: Learning from Banser’s Experience

Religion, Politics, and Violence in Indonesia: Learning from Banser’s Experience

Abstraksi: Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia menyaksikan munculnya kelompok-kelompok paramiliter yang terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan. Dan salah satunya yang fenomenal adalah Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sebuah organisasi paramiliter di bawah payung Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU). Nama Banser mulai mencuat pada awal Februari 2001 ketika Presiden Abdurrahman Wahid, yang juga mantan Ketua NU, mengancam akan mengeluarkan dekrit bahwa negara dalam keadaan bahaya. Meski tanpa dukungan sebagian besar menteri di kabinet dan komandan militer, Wahid mengingatkan bahwa dia akan menggunakan Banser untuk mengamankan keputusannya . Pada Agustus di tahun yang sama,  Wahid memenuhi janjinya. Namun keputusan ini gagal. Kekuatan oposisi yang menentang keputusan tersebut terlalu kuat untuk dihadapi kelompok paramiliter ini. Satu hal yang bisa dilakukan Banser adalah membentuk pengawalan penghormatan pada saat Presiden Wahid dan keluarganya meninggalkan  istana.

Sejarah Banser bisa ditelusuri  ke  asal-usul  organisasi  payungnya, GP Ansor yang berdiri pada 1931. Dalam Kongres ke-9 NU pada 1934, Ansor Nahdlatul Ulama (ANU) diakui secara resmi sebagai bagian dari Departemen Pemuda NU. Dan, dalam Kongres ke-2 ANU pada 1934, Barisan Ansor Nahdlatul Ulama (Banu), yang menjadi cikal bakal Banser, diperkenalkan. Pada masa pendudukan Jepang, ANU menjadi elemen penting dalam Hizbullah, organisasi militer pemuda Muslim yang didirikan pada akhir 1944. Keterlibatannya dalam. perang kemerdekaan berlanjut ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I dan II (20 Juli 1947 dan 18 Desember 1948). Sementara sebagian anggotanya bergabung dengan Hizbullah, sebagian di antaranya terlibat mempertahankan NU melawan agitasi PKI selama Peristiwa Madiun 1948. Pada akhir 1949, ANU  merestrukturisasi organisasinya, dan kemudian (14 Desember 1949) berubah nama menjadi Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor).

Artikel ini menghadirkan kajian historis di balik pendirian Banser sebagai organisasi paramiliter dan kemudian bagaimana ia berkembang. Karakter institusional organisasi ini yang berpenampilan paramiliter berikut justifikasi agama membuatnya berbeda dari organisasi paramiliter lain di Indonesia. Artikel ini juga mendiskusikan titik menentukan sejarah Banser melalui keterlibatannya dalam pembunuhan masal PKI  dan  sekutunya pada 1965 dan 1966, juga peranannya dalam periode singkat masa jabatan Wahid, ketika Banser menjadi “tentara” loyalis Wahid.

Sejarah Banser memang memperlihatkan upaya untuk menggunakan kekerasan demi melayani kepentingan politik. Dalam konteks inilah, dua asumsi tentang relasi antara kekerasan, politik, dan agama, dibuat: kekerasan penting untuk mencapai tujuan politik; dan kekerasan dapat dikontrol secara agama. Didirikan untuk mempertahankan, memperluas, dan menjadi garda depan bagi kepentingan-kepentingan Muslim Indonesia sebagaimana diinterpretasikan pimpinan NU, keberadaan Banser terkait dengan aparat keamanan negara yang tak mampu atau tak mau memonopoli penggunaan kekerasan sehingga ada ruang dan kesempatan bagi organisasi paramiliter untuk beroperasi. Yang mengherankan, di banyak keterlibatan historisnya, penggunaan kekerasan oleh Banser tidak pernah dipertanyakan:  dilihat sebagai kebutuhan untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan dianggap dapat dikontrol. Baru  belakangan ini mulai muncul suara dari beberapa pemimpin NU yang menganjurkan melarang Banser karena dianggap telah melestarikan subkultur kekerasan.

Sejalan dengan logika kekerasan yang tidak selamanya dapat dikendalikan, upaya untuk mengontrol Banser tidaklah selalu berhasil. Banser makin kuat saat kepentingan politik yang disandarkan padanya-dengan penggunaan kekerasan-semakin besar. Dan, akibatnya,  Banser semakin dikontrol. Kini, Banser melampaui peran tradisionalnya sebagai pembela kepentingan NU. Ia mentransformasikan dirinya ke dalam sesuatu yang lain, bahkan tidak jarang ke dalam kekuatan yang menjual jasa kekerasan.

Dari studi kasus Banser, upaya memisahkan agama dari politik tidaklah selalu berguna, jika bukan keliru. Alih-alih memisahkan keduanya, Banser mengisyaratkan memperkuat hubungan agama dan politik. Dalam kasus Abdurrahman  Wahid, misalnya, tidak akan pernah bisa dipisahkan secara jelas, dan kapan, seseorang adalah politisi yang menggunakan baju kiai atau sebaliknya. Sejarah Banser menunjukkan bahwa dalam campuran politisi dan agamawan, yang pertama senantiasa lebih menentukan dalam pembuatan keputusan dibanding yang terakhir .

 

Full Article: “Religion, Politics, and Violence in Indonesia: Learning from Banser’s Experience,” Studia Islamika, Vol. 15, No. 3 (2008), pp. 417-442.

[wpfilebase tag=file id=123 /]