[Ringkasan Artikel RISOS #1] DEKOLONISASI HAK ASASI MANUSIA: MEMPERTIMBANGKAN TAWARAN AN-NAIM đź—“

[Ringkasan Artikel RISOS #1] DEKOLONISASI HAK ASASI MANUSIA: MEMPERTIMBANGKAN TAWARAN AN-NAIM đź—“

Reading in Social Sciences (RISOS) #1
DEKOLONISASI HAK ASASI MANUSIA:
MEMPERTIMBANGKAN TAWARAN AN-NAIM

28 Januari 2022
Ringkasan Buku

Judul Buku: Decolonizing Human Rights
Penulis: Abdullahi Ahmed An-Naim
Penerbit: Cambridge University Press, 2001
Tebal: v + 138 halaman

Pemenuhan hak asasi manusia (HAM) telah menjadi isu yang banyak dibicarakan sejak
berkembangnya konsep dan rezim HAM internasional tahun 1945-1948. Perdebatan tentang
HAM, baik di ranah konseptual maupun implementasi, kerap mewarnai pertemuan di antara
negara maupun aktor internasional dan domestik lainnya. Penegakan HAM yang konsisten dan
merata juga masih menjadi tantangan.
Mekanisme penegakan yang selama ini bergantung pada rezim hukum internasional dan
institusi antarnegara dinilai kurang efektif dan bahkan melanggengkan praktik neokolonialisme
yang kerap melanggar HAM alih-alih memastikan perlindungan HAM di banyak wilayah.
Buku terbaru karya Abdullahi Ahmed An-Naim, Decolonizing Human Rights (Cambridge
University Press, 2021) mengamini adanya kebuntuan dalam upaya penegakan HAM saat ini
dan menawarkan cara-cara baru memajukan HAM melalui transformasi budaya dan mobilisasi
politik.

Penegakan HAM melalui kerangka hukum internasional saat ini dinilai An-Naim kurang
efektif karena beberapa alasan. Pertama, sistem HAM internasional terlalu bergantung dan
berfokus pada negara. Negara menjadi aktor utama yang memiliki kewajiban melindungi HAM
sementara negara juga yang menjadi aktor pelanggar HAM. Hal ini menimbulkan apa yang
An-Naim sebut sebagai paradoxical paradigm perlindungan HAM di bawah hukum
internasional. Mekanisme ratifikasi traktat HAM oleh negara juga dianggap tidak efektif:selain
karena tidak semua negara bersedia melakukannya, negara yang bersedia pun masih bisa
melakukan “reservasi” pada pasal-pasal tertentu untuk mengurangi atau memodifikasi
substansi dalam traktat guna mengurangi tanggung jawab mereka.

Kedua, penegakan HAM melalui mekanisme intervensi humaniter dinilai sangat bermasalah
karena bersifat koersif dan merupakan cerminan kebijakan neokolonialisme negara-negara
Barat yang ingin memenuhi kepentingan nasionalnya. Kekuatan militer yang dikerahkan saat
intervensi selalu menimbulkan korban jiwa yang justru semakin memperparah penderitaan
warga sipil. Keterbatasan budaya, bahasa dan pengetahuan lokal aktor yang melakukan
intervensi humaniter menyebabkan sulitnya mendapatkan rasa percaya dan legitimasi dari
masyarakat lokal. Durasi intervensi yang singkat juga biasanya tidak memungkinkan adanya
upaya pemulihan yang komprehensif sehingga justru menyulitkan terciptanya kondisi
perdamaian yang berkelanjutan.

Ketiga, klaim” universalitas” norma HAM yang selama ini diusung bertentangan dengan realita
perbedaan budaya dan konteks di berbagai belahan dunia. Konseptualisasi nilai-nilai HAM
juga dinilai An-Naim sangat bias pada kebudayaan Barat sehingga abai dengan perspektif
budaya negara-negara lain. Contohnya, pengutamaan hak sipil dan politik dibanding sosial
ekonomi dalam diskursus HAM menyebabkan pemerintah negara-negara Selatan lebih mudah
dituduh sebagai pelanggar HAM ketimbang negara Barat. Padahal pemenuhan hak sipil-politik
dan sosial-ekonomi saling terkait, sehingga menghukum negara berkembang dengan sanksi
ekonomi atas pelanggaran hak sipil yang dilakukan oleh pemerintah negara tersebut justru akan
semakin menyulitkan penegakan HAM.

Dengan menganalisis sejarah pembentukan norma HAM sejak Deklarasi Universal HAM
tahun 1948 hingga proses kodifikasi norma HAM ke dalam beragam perjanjian internasional,
An-Naim menunjukkan ketidakmampuan kerangka legal dalam menegakan norma-norma
tersebut. Dia juga memberi kritik yang dalam mengenai kebijakan HAM Amerika Serikat yang
selama ini gencar mempromosikan dirinya sebagai pelindung HAM sebagai salah satu negara
maju dengan rekam jejak pelanggaran HAM paling parah. Intervensi humaniter yang
mengatasnamakan “masyarakat internasional” sering dijadikan sebagai alat pemenuhan
kepentingan nasional Amerika Serikat. Beberapa contoh seperti kebijakan luar negeri AS
dalam menginvasi Irak dan Afghanistan juga turut dikritik An-Naim.

Praktik organisasi internasional yang terkesan “tebang pilih” dalam melaporkan pelanggaran
HAM di negara tertentu namun tidak di negara lain juga makin mempertegas adanya relasi
kuasa dalam hubungan internasional. An-Naim menunjukkan bahwa dalam banyak kasus,
organisasi HAM internasional menerima pendanaan dari negara-negara maju saja sehingga
standar akuntabilitas yang diterapkan ke negara maju dan berkembang menjadi tidak adil.
Strategi name and shame yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku pemerintah negara
pelanggar HAM juga kerap kontraproduktif dengan perlindungan HAM masyarakat setempat.
An-Naim menawarkan konsep 3C atau concept, content, dan context dalam memahami dan
menerapkan HAM. Konsep universalitas HAM perlu melihat content, yaitu klaim untuk
mengartikan norma yang dianggap universal dengan makna tertentu. Sementara konteks
budaya dan politik di suatu negara juga penting untuk memahami bagaimana aktor di berbagai
negara lain memaknai atau menerapkan perlindungan hak asasi.

An-Naim berpendapat bahwa penegakan HAM dapat berjalan efektif ketika proses organik di
level komunitas juga berjalan melalui proses transformasi budaya oleh masyarakat.
Transformasi budaya dapat diarahkan agar menciptakan atau pun melanggengkan perilaku dan
relasi sosial yang saling melindungi hak sesama manusia dalam sebuah komunitas. Mobilisasi
politik seperti gerakan sosial yang dikelola langsung oleh konstituen untuk menyebarkan nilai-
nilai HAM juga dinilai akan lebih mudah diterima dan diterapkan dalam jangka waktu panjang
ketimbang pemaksaan nilai HAM melalui intervensi humaniter maupun imposisi nilai melalui
ragam hukum maupun institusi internasional yang mendominasi rezim HAM saat ini.***

Scheduled ical Google outlook Artikel Jurnal