[Ringkasan Artikel RISOS #6] Ragam Kuasa di Indonesia: Hukum, Seni Tradisional dan Kebebasan Beragama đź—“

[Ringkasan Artikel RISOS #6] Ragam Kuasa di Indonesia: Hukum, Seni Tradisional dan Kebebasan Beragama đź—“

Ragam Kuasa di Indonesia: Hukum, Seni Tradisional dan Kebebasan Beragama

Judul: Pluralities of Power in Indonesia’s Intellectual Property Law, Regional Arts and Religious

Freedom Debates
Penulis: Lorraine Aragon
Jurnal: Anthropological Forum Vol. 32 No. 1 (2022)
Tebal: v + 22 halaman

Artikel ini mendiskusikan konsep kuasa (power) di Indonesia dan Asia Tenggara dalam kaitannya dengan hubungan masyarakat lokal dan negara. Seorang antropolog yang telah mengkaji Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa, sejak awal Aragon menaruh perhatian pada isu-isu terkait seni, pertunjukan dan juga agama
lokal di Indonesia dalam kaitannya dengan negara. Dalam artikel ini, Aragon menyoroti kembali konsep kuasa berdasarkan kajiannya atas dua hukum yang telah
banyak memancing perdebatan. Pertama, UU Hak Cipta (N0. 28/2014), yang beberapa pasalnya berbicara tentang ekspresi budaya tradisional, dan menyatakan bahwa “Hak Cipta atas ekspresi budaya tradisional dipegang oleh Negara.” Kedua, UU Administrasi Kependudukan (2006/2013) yang pernah mengalami judicial review di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016-2017, dengan putusan yang, setidaknya dalam sebagian tafsirnya, dianggap memberikan pengakuan kesetaraan hak sipil penganut kepercayaan/agama
leluhur.

Aragon berargumen bahwa kedua kasus itu mengungkapkan adanya keragaman konsep kuasa yang muncul dari narasi dan praktik kelompok minoritas budaya/agama yang melawan otoritas negara. Ia mempertanyakan kembali konsep kuasa yang diajukan para sarjana terdahulu, seperti Ben Anderson dan Lucien Hanks. Dalam kedua perkembangan mutakhir di atas, ia melihat bahwa konsep mengenai kuasa yang jamak di Asia Tenggara lebih dapat menjelaskan ketimbang penjelasan yang mengacu pada (pengaruh) globalisasi, hak asasi manusia,
atau penjelasan yang mempertentangkan negara modern versus perlawanan kelompok indigenous. Aragon berpendapat bahwa: “Kita perlu mempertimbangkan penolakan kelompok minoritas terhadap hukum dan tekanan negara “modern” sebagai sesuatu yang berakar pada praktik dan pola hubungan lokal ketimbang sekedar sebagai perlawanan politik atau tuntutan masyarakat lokal atas hak asasi manusia sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Universal HAM tahun 1948.”

Artikel ini menarik untuk didiskusikan karena kaitannya dengan upaya advokasi dan dinamika pemenuhan hak kelompok penghayat kepercayaan di Indonesia. Apakah penggunaan bahasa baru seperti kesetaraan kewarganegaraan, hak-hak sipil, perlindungan warisan budaya tradisional, kebebasan beragama, otonomi daerah sesungguhnya merupakan strategi pragmatis bagi perjuangan ide-ide tradisional, yang seharusnya lebih diperhatikan? Seperti apakah kuasa dikonseptualisasi oleh Aragon untuk membingkai penjelasannya atas dua peristiwa mutakhir terkait budaya/agama lokal tersebut?***

Scheduled ical Google outlook Artikel Jurnal