[Ringkasan Artikel RISOS #8] Populisme Sayap-Kanan dan Kekerasan Main Hakim Sendiri: Membandingkan Indonesia dan India đź—“

[Ringkasan Artikel RISOS #8] Populisme Sayap-Kanan dan Kekerasan Main Hakim Sendiri: Membandingkan Indonesia dan India đź—“

Populisme Sayap-Kanan dan Kekerasan Main Hakim Sendiri: Membandingkan Indonesia dan India
Jumat, 26 Agustus 2022, 14:00-16:00 WIB

Judul: Right-Wing Populism and Vigilante Violence in Asia
Penulis: Sana Jaffrey
Jurnal: Studies in Comparative International Development (2021)
Tebal: 27 halaman

Populisme sayap kanan mengancam demokrasi di seluruh dunia dengan membuat klaim-klaim keistimewaan bagi kelompok dominan dan meminggirkan hak-hak minoritas. Hal ini biasanya dijelaskan dalam kerangka makro visi majoritarian yang “dijual” para politisi untuk memenangkan pemilu dan penerapan kebijakan diskriminatif. Bagaimana gambarannya dari sisi lebih mikro?
Dalam artikel ini, Sana Jaffrey menelisik kekerasan main hakim sendiri (vigilante violence) sebagai mekanisme yang digunakan gerakan-gerakan populis dalam mengartikulasi dan memperjuangkan visi mereka di tingkat akar rumput. Dengan membandingkan pengalaman Indonesia dan India, Jaffrey menelusuri faktor-faktor apa saja yang memungkinkan para populis sayap-kanan memanfaatkan vigilantisme untuk merusak benteng-benteng demokrasi yang menahan majoritarianisme.

Dalam satu dekade terakhir, India dan Indonesia sama-sama menyaksikan naiknya popularitas gerakan sayap kanan di negara masing-masing. Kelompok nasionalis Hindu di India membawa ideologi mereka untuk mendirikan negara mayoritarianisme ke dalam gerakan populisme yang semakin mendominasi sejak Narendra Modi menjabat sebagai Perdana Menteri pada 2014. Modi memobilisasi dukungan massa melalui Bhartiya Janata Party (BJP) dengan berjanji akan mengembalikan India ke tangan penduduk India “yang sesungguhnya setelah bertahun-tahun dijajah oleh penguasa Muslim asing”. Sejak saat itu, keberhasilan BJP dalam pemilu nasional maupun regional semakin menginstitusionalisasi dominasi kelompok Hindu dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Meski gerakan sayap kanan di Indonesia tidak sampai memenangkan pemilu seperti di India, keberhasilan upaya mereka dalam memperjuangkan dominasi Islam dan mendorong mayoritarianisme di Indonesia juga cukup signifikan. Setelah direpresi selama 30 tahun kepemimpinan Orde Baru, kelompok Islamis mulai aktif sejak reformasi 1998. Namun kiprah mereka baru muncul di arena politik arus utama beberapa tahun belakangan. Khususnya sejak 2016, ketika mereka memobilisasi massa untuk menuntut kasus dugaan penodaan agama oleh gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama.

Meski gerakan sayap kanan di dua negara tersebut mencapai kesuksesan elektoral dan melakukan perubahan legislatif dengan tingkat keberhasilan yang beragam, mereka sama-sama menggunakan main hakim sendiri sebagai strategi untuk mendorong dominasi sosial oleh kelompok mayoritas. Ada beberapa alasan mengapa vigilante sangat berguna bagi kelompok sayap kanan.

Pertama, meskipun vigilante memiliki skala lebih kecil ketimbang bentuk kekerasan kolektif lain, ia terbukti efisien dalam mengatur perilaku masyarakat. Ia dapat digunakan secara terarah (targeted) dengan menggunakan sumber daya yang kecil, namun tetap mampu mempengaruhi kepatuhan perilaku kelompok yang ditarget.

Kedua, klaim moral kelompok sayap kanan dapat membuat aksi vigilante yang mereka lakukan sebagai bentuk lobi kekerasan yang mampu mentransformasi hukum. Contohnya penerapan hukum perlindungan sapi yang lebih ketat di India dan kemampuan kelompok Islamis sayap kanan Indonesia untuk mendorong keterlibatan negara di area yang sebelumnya tidak diatur dalam hukum seperti upaya mendiskriminasi bahkan mengkriminalisasi LGBT dan seks di luar pernikahan.

Nilai strategis yang dimiliki vigilate sebagai mekanisme kekerasan tidak otomatis membuatnya dapat digunakan oleh kelompok populis sayap kanan. Ada tiga faktor yang membuat vigilante digunakan oleh kelompok sayap kanan di India dan Indonesia. Pertama, ketika konstitusi negara yang pluralis menyulitkan upaya kelompok sayap kanan untuk mengurangi hak minoritas melalui jalur legislatif (top-down), mereka menggunakan vigilante untuk melakukannya dari bawah. Konstruksi nilai baik dan buruk di kehidupan sehari-hari melalui penggunaan kekerasan main hakim sendiri dapat mempersiapkan masyarakat yang permisif terhadap pembuatan kebijakan yang diskriminatif.

Ketiga, legitimasi sosial yang disematkan pada bentuk kekerasan vigilante sehari-hari membuat kelompok sayap kanan dapat menggunakan template kekerasan lokal untuk mencapai tujuan nasional. Alih-alih dipandang sebagai tindakan yang melanggar hukum, vigilante justru dianggap perlu untuk mengalahkan “musuh nasional” karena anggapan bahwa hukum negara tidak bekerja dengan efektif.

Keempat, risiko kekerasan vigilante meningkat ketika kelompok yang melakukannya berkolaborasi dengan pejabat negara yang dapat melindungi kelompok mereka dari konsekuensi hukum. Di Indonesia, kelompok vigilante sayap kanan mendapat perlindungan dari kepolisian karena pengaruh dukungan politisi nasional atau pimpinan tinggi kepolisian yang ingin membangun citra “pro Islam” kepada publik. Selain itu, kelompok vigilante sayap kanan seperti (Front Pembela Islam) FPI di Indonesia juga digunakan untuk menyerang demonstran atau kelompok yang melakukan aksi protes yang mengkritik pemerintah.***

Scheduled ical Google outlook Artikel Jurnal