[Ringkasan Artikel RISOS #9] Represi Digital dengan Dalih “Melawan Hoaks”: Pengalaman Empat Negara ASEAN 🗓

[Ringkasan Artikel RISOS #9] Represi Digital dengan Dalih “Melawan Hoaks”: Pengalaman Empat Negara ASEAN 🗓

RISOS kali ini akan membahas laporan studi berjudul “Justifying Digital Repression via ‘Fighting Fake News’”, yang diterbitkan dalam Serial Trends in Southeast Asia (ISEAS, Juli 2022). Ditulis Janjira Sombatpoonsiri dan Dien Nguyen An Luong berdasarkan studi kasus di empat negara ASEAN (Kamboja, Myanmar, Thailand dan Vietnam), laporan ini menunjukkan bagaimana pemerintah mempolitisasi definisi “hoaks” atau “berita palsu” untuk membenarkan penggunaan macam-macam taktik represi digital.

Penulis menelusuri dan membandingkan definisi berita palsu yang terkandung dalam beragam aturan hukum dan dokumen kebijakan pemerintah terkait perlawanan terhadap disinformasi di empat negara. Hal ini dilakukan guna menganalisis karakteristik umum dalam perumusan definisi berita palsu yang menyebabkan istilah tersebut mudah untuk dipolitisasi. Selain itu, penulis juga mengumpulkan beragam kasus represi digital yang dilakukan keempat pemerintah negara di atas dengan dalih pemberantasan berita palsu untuk melihat pola represi yang dilakukan.

Di empat negara otokrasi tersebut, makna berita palsu diperluas dari sekadar berita yang mengandung informasi yang tidak benar menjadi berita yang mengandung informasi tidak benar dan membahayakan pilar bangsa. Transformasi retorik itu kemudian memberikan otoritas kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk menindak siapapun yang dianggap membawa informasi yang membahayakan kepentingan penguasa dengan dalih demi menjaga keamanan publik.

Studi ini memaparkan beberapa temuan. Pertama, di empat negara di atas, yang dimaksud “hoaks” atau “berita palsu” tidak didefinisikan dengan jelas. Pemerintah di negara-negara itu malah fokus kepada bahaya atau ancaman yang mungkin diakibatkan oleh penyebarannya kepada keamanan nasional, ketertiban publik, dan prestise bangsa.
Kedua, karena pemerintah memiliki kuasa untuk memaksakan pelabelan “hoaks” dan “berita palsu” sesuka mereka, maka pemerintah dapat mengkriminalisasi orang-orang yang dituduh menyebarkan informasi seperti itu dengan alasan menjaga keselamatan publik.

Ketiga, sedikitnya ada empat cara yang digunakan pemerintah untuk memperketat pengawasan atas ruang siber dalam rangka melawan “hoaks” dan “berita palsu”, yaitu: (i) Mempersekusi pengguna internet, jurnalis, dan khususnya mereka yang dianggap kritikus atau pembangkang di empat negara; (ii) Menekan penyedia layanan Internet (ISP) dan platform media social untuk memblok dan mencabut konten di Kamboja, Thailand dan Vietnam; (iii) Memperluas dan memperdalam pengawasan di ranah digital seperti pengawasan di media sosial dan pengumpulan data pribadi pengguna internet khususnya di Thailand dan Vietnam; dan (iv) Mematikan (shut down) internet secara keseluruhan di Myanmar.

Untuk menganalisis faktor apa yang mendorong munculnya pola represi digital yang berbeda-beda di tiap negara, dibutuhkan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Misalnya, kapasitas birokrasi dan infrastruktur siber yang lebih maju di Thailand dan Vietnam memungkinkan pemerintah untuk melakukan pengumpulan data pribadi pengguna internet dengan skala besar. Perkembangan ekonomi digital di kedua negara yang pesat juga memungkinkan adanya ketergantungan industri seperti perdagangan dan periklanan pada platform digital tertentu sehingga kedua negara tersebut cenderung enggan memilih cara internet shutdown.

Studi di atas tentu sangat relevan untuk dibicarakan di Tanah Air. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak studi dan laporan organisasi masyarakat sipil yang menunjukkan adanya pembatasan kebebasan sipil dan penyempitan ruang sipil (civic space) di Indonesia. Misalnya pada 2021, jaringan pemantau kebebasan sipil CIVICUS memasukkan Indonesia sebagai negara yang terhalang1 ruang sipilnya. Banyak dari pembatasan kebebasan sipil di atas yang meliputi hak-hak di ranah digital termasuk kriminalisasi pengguna internet menggunakan UU no. 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi elektronik (ITE) serta pemblokiran situs dan konten internet menggunakan regulasi turunannya.

Beberapa pertanyaan bisa diajukan sebagai pemantik diskusi: Sejauhmana fenomena di atas berkembang juga di Indonesia? Jika ya, apakah taktik-taktik represi digital yang dijalankan serupa atau lebih bervariasi? Apa yang harus dilakukan warganegara untuk melawan kecenderungan di atas?***

Scheduled ical Google outlook Artikel
No Comments

Post A Comment
This site is protected by reCAPTCHA and the Google Privacy Policy and Terms of Service apply.