SBY Berbagi Tanggung Jawab

SBY Berbagi Tanggung Jawab

Jakarta, Kompas (Jumat, 10 Mei 2013) – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, pemerintah berketetapan meningkatkan intensitas pengelolaan konflik sosial di Tanah Air. Untuk itu, Presiden berharap pemerintah daerah dan aparat keamanan di daerah berada di depan dan bertanggung jawab.

“Yang penting, kalau ada perselisihan, selesaikan secara damai, cegah kekerasan. Para pemimpin bertanggung jawab, pemimpin daerah, pemimpin agama. Kalau itu bisa kita lakukan, akan lebih banyak lagi yang bisa kita cegah dan kita bisa mendapatkan solusinya yang cepat,” kata Presiden seusai rapat paripurna kabinet di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (8/5).

Pernyataan Presiden itu, menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, terkesan seperti mau melepaskan tanggung jawab. Penyelesaian konflik sosial di daerah tidak bisa diserahkan kepada pemerintah daerah (pemda) karena justru kebijakan pemda sendiri yang memicu konflik sosial.

Bonar mencontohkan kasus penyegelan GKI Yasmin di Bogor dan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah di Bekasi dan Tasikmalaya yang dipicu kebijakan pemda setempat. “Masalah agama itu sesuai undang-undang ada dalam domain pemerintah pusat,” katanya.

Komentar serupa disampaikan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah La Ode Ida. Presiden tidak boleh melempar tanggung jawab kepada pemda terkait tindak kekerasan terhadap kelompok tertentu berikut penanganannya. Pemerintah pusat punya kewajiban konstitusinal untuk melindungi semua warganya.

“Jika suatu kekerasan terjadi di daerah, sebenarnya hanya tempatnya saja. Pemerintah daerah bagian elemen Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga mereka harus dipandu atau diberi arahan tegas, pasti, dan didukung pemerintah pusat dalam menangani kekerasan di daerah mereka,” papar La Ode.

Kekerasan seperti yang belakangan dialami pengikut Ahmadiyah, menurut dia, antara lain dipicu ketidaktegasan pemerintah pusat. Akibatnya, kelompok itu berada di wilayah abu-abu. Ia menambahkan, pemerintah pusat seharusnya punyai desain kebijakan yang tepat untuk melindungi minoritas dalam hal kebebasan beragama. Pemerintah pusat juga harus mengawasi secara ketat pelaksanaannya di daerah sehingga setiap penyimpangan kebijakan yang dilakukan pemda ditindak secara tegas.

Terkait anugerah World Statesman dari The Appeal of Conscience Foundation (TACF) di New York, Amerika Serikat, untuk Presiden Yudhoyono sebagai pemimpin yang mempromosikan toleransi antarumat beragama, hal itu dinilai tidak sesuai fakta. Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina Ihsan Ali-Fauzi menegaskan, pemerintahan sangat buruk dalam membela hak-hak minoritas agama. Ketidaktegasan negara telah dimanfaatkan kelompok-kelompok intoleran untuk menyerang kelompok minoritas yang berbeda keyakinan. Anugerah itu tidak menghargai para korban intoleransi, bahkan menghina penderitaannya.

“Dengan jiwa besar, Yudhoyono juga perlu menolak penghargaan itu sambil mengapresiasinya,” ujarnya.(WHY/NWO/IAM)

http://regional.kompas.com/read/2013/05/10/02204492/SBY.Berbagi.Tanggung.Jawab