Sekapur Sirih Seorang Mantan Santri

Sekapur Sirih Seorang Mantan Santri

Tiap orang punya hari-hari penting yang akan dikenangnya sepanjang hayat. Bagi saya, satu dari hari-hari itu adalah Selasa, 11 September 2001. Inilah hari ketika 19 orang yang kebetulan Muslim membajak beberapa pesawat dan membom sejumlah sasaran di Amerika Serikat (AS), atas nama Islam, menewaskanlebih dari tiga ribu penduduk sipil. Karena itulah kemudian Presiden George Bush mengumandangkan apa yang disebutnya “Perang Melawan Terorisme,” yang antara lain berakibat pada penyerbuan Afghanistan, pemberian sanksi ekonomi terhadap Irak, dan pemboman sejumlah madrasah di Pakistan karena diduga menjadi sarang teroris.

Saya berada di Athens, sebuah kota kecil di negara bagian Ohio, AS, hari itu. Saya memperoleh beasiswa dari pemerintah AS untuk menempuh Program Master dalam Sejarah Asia Tenggara di Ohio University (OU), yang kemudian, sejak 2004, saya lanjutkan dengan Program Doktor dalam Ilmu Politik di Ohio State University (OSU), Columbus, yang jaraknya sekitar 70 mile dari kampus pertama saya. Selama lima tahun berada di negara Paman Sam itu, saya ditemani seorang istri berjilbab, dua anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Karena beasiswa saya amat kecil jumlahnya, saya dan istri melakukan hampir apa saja yang halal untuk mendapat masukan tambahan: saya mencuci piring di dapur umum dengan upah sekitar enam dolar per jam, dan istri saya menjadi babu menjaga anak-anak Arab atau bule dengan upah sedikit lebih besar. Anak-anak kami belajar di sekolah-sekolah negeri yang tidak memungut bayaran. Jika satu dari kami sakit, kami pergi ke rumah sakit dan pasti memperoleh keringanan biaya.

Seperti hari-hari lain, 11 September 2001 saya awali dengan kerja cuci piring, lalu mengantar anak ke sekolah. Kemudian saya ke perpustakaan, menunggu waktu dimulainya satu kelas. Ketika itulah, sekitar pukul sepuluh pagi, pembajakan dan pemboman di atas terjadi – dan jadwal, juga seluruh hidup kami di AS, berubah….

Kelas-kelas diliburkan hari itu. Semua orang bergerombol di depan televisi. Footage pemboman gedung World Trade Center (WTC) diNew York berulang-ulang disiarkan, juga kemarahan pada orang Islam dan perusakan sejumlah masjid atau Islamic Center. Bendera AS tiba-tiba dikibarkan di depan rumah atau atap mobil. Istri saya dilecehkan “F–k you,” oleh seorang tetangga yang kami tahu menganggur dan pekerjaannya mabuk tiap hari. Seorang kawan ditanya “Are you Moslem?”dengan nada mengancam. Namun ada juga yang melegakan hati di hari itu: Islamic Center kami, yang kosong karena penghuninya “hengkang,” takut disatroni orang-orang yang sedang marah, justru dilindungi para aktivis perdamaian lintas-agama di kota itu. Dan dalam obrolan di luar kelas, sejumlah profesor mengecam kebijakan luar negeri AS yang membuat banyak orang Islam marah.

Dunia AS kami tak lagi sama di hari-hari berikutnya, sebagian besarnya dalam arah yang tidak mengenakkan. Televisi makin rajin menyiarkan Presiden Bush yang sering tampil bego atau sok jago, bergaya koboy (ia kebetulan berasal dari Texas pula), dengan retorika yang bisa meningkatkan gairah anti-Islam. Seperti imigran gelap, kami dipaksa mendaftarkan diri kembali ke Departemen Imigrasi, agar semua data kami yang paling mutakhir bisa dikumpulkan pemerintah. Dan yang paling tidak mengenakkan adalah ketika kita bepergian dengan pesawat terbang: saya tidak pernah gagal dipilih sebagai sample orang-orang yang harus diperiksa dengan super teliti di bandara, dengan mencopot sepatu hingga ikat pinggang. Maklum, kebetulan nama paspor saya Mohamad Ihsan Alief, karena di AS kita harus menyertakan nama keluarga.

Untungnya, ada juga efek positif tragedi di atas. Rakyat AS ingin tahu lebih banyak tentang Islam: bertanya-tanya apa itu Islam, bedanya dari Kristen atau Yahudi, atau mengapa kebijakan luar negeri AS begitu dibenci kaum Muslim. Maka permintaan untuk ceramah tentang Islam meningkat di mana-mana. Juga buku-buku atau reportase media. Istri saya berkali-kali diundang ngobrol soal Islam di gereja atau dirumah temannya. Saya juga sempat diundang ke beberapa negara bagian lainuntuk tujuan yang sama. Ini tentu baik buat kami: selain memiliki kesempatan untuk sebisa mungkin memperbaiki citra Islam yang memburuk di mata rakyat AS, undangan-undangan itu biasanya datang dengan honorarium. Yummy, kan?

Sumber: Diterbitkan sebagai “Kata Pengantar” untuk buku Wahyuni Nafis, Pesantren Daae el-Qolam Menjawab Tantangan Zaman (Banten: Daar el-Qolam Press, 2008), hal. xi-xxii.

Artikel selengkapnya silahkan diunduh:

[wpfilebase tag=file id=146 /]