Terampil Memfasilitasi Forum

Terampil Memfasilitasi Forum

“Pengalaman adalah guru terbaik; manfaatkanlah pengalaman Anda dan pengalaman peserta didik.”

Banyak teknik-teknik dan metode memfasilitasi sebuah forum dipraktikkan dan dipelajari di banyak tempat. Tak luput juga keterampilan memfasilitasi juga harus dikuasai oleh seorang peneliti, ataupun aktivis sosial lainnya. Sebuah training fasilitasi dibuat oleh Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina pada 26 hingga 29 Agustus 2015, di desa Gumati, Cijulang, Sentul, Jawa Barat. Suasana berlangsung hangat dan dengan  mempelajari sejumlah metode-metode baru dalam memfasilitasi sebuah forum. Pelatihan dihadiri lima belas peserta dari para peneliti dan staf PUSAD Paramadina, serta diikuti empat peserta jaringan komunitas dari Tasikmalaya. Diampu oleh tim pelatih training fasilitasi oleh Rizal Panggabean (MPRK UGM), yang juga peneliti senior PUSAD dan Titik Firawati (HI UGM). Keduanya merupakan ahli dibidang resolusi konflik dan setiap harinya saat ini mengajar di UGM Yogyakarta.

Pelatihan ini dibuat dengan tujuan meningkatkan kemampuan teknik fasilitasi para peneliti agar mahir dalam proses-proses fasilitasi publik dalam membangun bina damai. Karenanya, dalam pelatihan ini, selain memberikan wawasan dalam perencanaan forum bina damai dan pengetahuan tentang metode teknik fasilitasi, juga membahas pengalaman berbagai isu. Dikaitkan juga dengan sejumlah rencana penyusunan pengelolaan sebuah forum bina damai pada kelompok komunitas, khususnya di Tasikmalaya.

Seluruh peserta dibagikan buku panduan pelatihan karya Pretty (1995), Participatory Learning and Action: A Trainer’s Guide. Dari buku tersebut dibahas sejumlah tema: mulai dari persiapan menjadi fasilitator, bagaimana membangun dinamika, mengorganisasi forum, latihan menjadi fasilitator dan evaluasi oleh tim pelatih. Sebelum pelaksanaan acara ini berlangung, fasilitator mengirimkan formulir asesmen training fasilitasi dengan menanyakan minat, tujuan, dan harapan seluruh peserta.

Secara garis besar alur dan proses fasilitasi yang berlangsung selama empat hari di Bogor tersebut dibagi menjadi delapan sesi sebagai berikut:

Sesi 1: Belajar Aktif dalam Fasilitasi

Forum diawali dengan bagaimana menggali pengalaman dan jika berposisi sebagai fasilitator sebuah forum. Hubungan seorang failitator dengan peserta sangat menetukan proses selanjutnya. Seperti dalam kata-kata bijak, “Pengalaman adalah guru terbaik; manfaatkanlah pengalaman Anda dan pengalaman peserta didik,” menjadi kata pembuka oleh fasilitator.

“Fasilitasi,” dari kata Latin, facilis, artinya “mudah.” Fasilitasi artinya memudahkan, melancarkan. Dalam kontek lokakarya, posisi fasilitator orang yang memandu memudahkan dan melancarkan proses-proses komunikasi, tukar pikiran, dan belajar supaya tujuan tercapai.

Tugas dang fungsi fasilitator adalah bagaimana melakukan sesuatu, dan mengelola apa yang harus dilakukan. Keberhasilan sebuah pelaksanaan fasilitasi tergantung pada keberhasilan menjalin hubungan interpersonal yang baik antara sesama peserta dan pemberi materi, antara peserta dan fasilitator, dan antara peserta dengan panitia.

Terdapat tiga hal bagaimana seorang menjadi fasilitator: mengatur materi, proses, dan hubungan-hubungan antar manusia, adalah trio unsur dalam lokakarya yang saling mendukung dan menopang.

Untuk itu, tujuan fasilitasi hendaknya sudah jelas sebelum forum itu dibuat. Tujuan fasilitasi tersebut, misalnya, mengharapakan: perubahan prilaku, untuk membujuk, memberitahu, merangsang pemikiran dan ide, menghibur, atau memotivasi untuk melakukan suatu tindakan.

fasilitasi 3

 Sesi 2: Persiapan Fasilitator

Sesi kedua peserta diajak untuk memahami sejumlah persiapan menjadi fasilitator. Terdapat persiapan dalam merancang lokakarya dan fasilitasi yang menekankan dialog. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah pelaksanaan pertemuan pendahuluan, yaitu pertemuan yang dilaksanakan sebelum forum lokakarya tersebut dijalankan. Pertemuan pendahuluan memainkan fungsi-fungsi yang sangat strategis bagi pelaksanaan lokakarya, sehingga tidak dapat dianggap sebagai peristiwa yang dapat diabaikan atau terpisah dari pelaksanaan lokakarya secara keseluruhan.

Fungsi-fungsi pertemuan pralokakarya:

  • Fungsi pembentukan kelompok
  • Sebagai forum yang mempertemukan para peserta dengan fasilitator dan penyelenggara
  • Sebagai forum pembuatan aturan dan tata tertib lokakarya

Hal lain yang juga patut diperhatikan dalam fasilitasi dalam keterampilan mendengar adalah dengan menghindari sejumlah hal: menghakimi, menasehati, membaca pikiran, memerintah, mengancam, menceramahi, mengasihani, mengintogerasi, menyangkal, dan seterusnya. Hal itu akan berakibat pada blocs to listening.

Sesi 3: Kinerja Fasilitator

Pada sesi ke tiga, peserta dilatih bagaimana kinerja seorang fasilitaor. John Paul Lederach, seorang mediator dan fasilitator berpengalaman dari Eastern Mennonite University, Virginia, AS, membedakan dua pendekatan dalam lokakarya atau pelatihan. Dalam karyanya, Preparing For Peace, Conflict Transformations Across Cultures, 1995. Kedua pendekatan diringkas dan dikontraskan: Prescriptive dan Elective.

Pendekatan prescriptive adalah pelatihan sebagai transfer. Penekanannya lebih pada model dan pengetahuan pelatih, pelatihan berorientasi muatan (kuasai pendekatan dan teknik), pemberdayaan sebagai belajar cara dan strategi baru menghadapi konflik, pelatihan sebagai pakar, model dan fasilitator, dan kebudayaan sebagai sekumpulan teknik.

Sedangkan pendekatan elective meliputi: pelatihan sebagai proses penemuan dan ciptaan, pengetahuan dalam konteks, pelatihan berorientasi proses (ikut serta menciptakan model), pemberdayaan sebagai proses validasi dan pembinaan berdasarkan konteks, pelatihan sebagai katalis dan fasilitator, serta kebudayaan sebagai landasan tempat persemaian.

Ada baiknya, proses pendidikan dan proses belajar mengajar dalam lokakarya dirancang sebagai gabungan atau kombinasi kedua pendekatan prespektif dan elisitif, dengan penekanan pada pendekatan yang elisitif.

Dalam mengelola sebuah forum, posisi duduk juga menjadi pertimbangan. Konsetrasi dan kedekatan bisa dibangun dari pengelolaan posisi duduk: memanjang, membentuk huruf U, bentuk konferensi, melingkar, ataupun perkelompok. Masing-masing punya dampak dan resikonya masing-masing tergantung jumlah dan suasana.

 Sesi 4: Dinamika Kelompok dan Binatim

Menginjak sesi empat, dibahas bagaimana membangun sebuah kelompok dan bina tim. Terdapat beberapa dinamika dan model dalam pembentukan kelompok. Berdasarkan perjalanan biografi kelompok Tuckman, 1965, peran fasilitator diantaranya adalah:

  • Forming: pembentukan. Individu-individu dengan harapan dan antisipasi berbeda-beda. Ciri emosi: merasa asing, gelisah, terancam.
  • Storming: ketegangan, konflik, polarisasi, negoisasi. Coba-coba, eksperimentasi. Ciri emosi: agresif, menolak, bermusuhan.
  • Norming: bertahan, sepakat, melembaga. Menjadi kolektif dengan aturan dan hubungan dan tujuan yang disepakati. Ciri emosi: saling memahami, percaya, bersedia melaksanakan keputusan bersama.
  • Performing: berprestasi, mencapai hasil. Berfungsi sebagai tim, dengan aksi kolaboratif. Ciri emosi: validasi – rasa kuat dan mampu sebagai kelompok.

Terdapat catatan yang harus diperhatikan dalam membangun sebuah kelompok adalah: proses yang tidak perlu tergesa-gesa, menghindari target yang muluk-muluk, implementasi berdasarkan waktu, anggaran, jarak, dan tempat yang realistis.

Sesi 5: Mengorganisasi Workshop Fasilitasi

Sesi berikutnya adalah bagaimana keterampilan menggalang dukungan. Dalam hal ini terdapat materi soal bagaimana menggalang dukungan lewat: menjelaskan falsafah jaringan atau networking, memilah sumberdaya kelembagaan, keterampilan mengorganisasi masyarakat dalam rangka menggalang dukungan bagi sebuah cita-cita.

Selain itu, proses klarifikasi dan eksplorasi juga penting. Bentuknya adalah dengan memberi kesempatan pada para peserta untuk mengajukan pertanyaan klarifikasi, dan bila perlu, dengan kontrol waktu, dan eksplorasi.

Selanjutnya peserta bisa diajak untuk penugasan dan kegiatan kelas. Bentuknya berupa mengajak peserta mengikuti kegiatan bersama atau kelompok seperti: studi kasus, analisis teks, tukar pengalaman, dan lain-lain.

Strategi berikutnya adalah closuer, lewat mengajukan pertanyaan penggugah dan penggugat, tanpa harus dijawab peserta.

Dalam kegiatan ini yang perlu diperhatikan adalah bagaimana manajemen waktu, materi kegiatan, deskripsi kegiatan, narasumber, metode dan alat peraga dipergunakan.

fasilitasi 2

Sesi 6: Persiapan Fasilitasi Mikro

Dalam setiap pertemuan atau workshop, yang lebih-lebih pesertanya banyak, selalu ada kemungkinan fasilitator berhadapan dengan peserta bermasalah, yaitu mereka yang tidak bekerjasama, dan tidak berpartisipasi aktif. Ada juga peserta yang sungkan, tidak mendengar, gemar mengeluh, kaku, sombong, angkuh dan seterusnya.

Lalu bagaimana menanganinya? Berikut beberapa petunjuk yang bisa dilakukan, dengan tetap sopan, sabar, tersenyum dan tetap mengendalikan proses supaya tujuan dialog tercapai.

Untuk si pemalu, misalnya, “saya belum mendengar pendapat Anda mengenai topik ini.” Atau gunakan penugasan kelompok duo dan trio, karena si pemalu akan berpartisipasi dalam kelompok kecil.

Berikutnya ketika menghadapi si tukang ngeyel dan suka mendebat pendapat orang lain. Strateginya adalah coba melibatkan peserta lain dengan bertanya, “Ada yang ingin menanggapi pendapat dia?”

Bisa juga ada datangya pengacau dalam sebuah forum. Bentuknya adalah dengan memaksakan tujuan atau mengacau acara dan mendesakkan keinginan mereka walaupun itu bukan agenda pertemuan. Solusinya diantaranya ambil tindakan tegas dan segera mengingatkan mereka bahwa pertemuan ini memiliki agenda yang sudah disepakati.

Sejumlah tips lain dalam memfasilitasi kelompok adalah bisa saja kelompok tersebut dapat melakukan lebih banyak dari yang dibayangkan para anggota. Perlu diingat, bahwa permulaan lokakarya sangat penting bagi proses selanjutnya. Anggp pentiglah semua yang dikaakan dan dilakukan dalam dimensi interaksi kelompok.

 Sesi 7: Latihan Kelompok Fasilitasi

Pada sesi terakhir adalah latihan kelompok untuk berlatif memfasilitasi sebuah forum. Para peserta dibagi 7 kelompok untuk seolah-olah memfasilitasi sebuah forum dengan memakai metode dan fasilitas yang ada. Proses latihan tersebut juga direkam lewat video untuk dievaluasi. Selama 15 menit tiap kelomok maju ke depan menyampaikan materi, menjelaskan maksud forum, metode fasilitasi dan sejumlah game atau icebreaking yang dilakukan. Tiap kelompok yang terdiri dari dua orang memilih tema, merencanakan alur, membuat kesiapannya dalam membahas tema yang sudah ditentukan.

Selama proses fasilitasi kelompok berlangsung, masing-masing peserta diminta mengisi formulir evaluasi yang terdiri bagaimana kesiapan dilakukan, metode menjelaskan persoalan, alat yang digunakan, kemasan situasi forum, icebreaking dan lain sebagainya.

 Sesi 8: Evaluasi

Evaluasi tim dilakukan lewat menonton kembali hasil rekaman video atas proses fasilitasi. Fasilitator memberikan sejumlah catatan kekurangan mulai dari persiapan, proses, maupun pelaksanaan. Setiap peserta juga diberikan lembar evaluasi untuk memberikan catatan penilaian tiap-tiap kelompok yang maju.

Selain itu, evaluasi umum oleh tim fasilitator atas semua proses kegiatan dengan poin-poinya adalah: apa yang didapatkan? Apa yang kurang? Dan gambarkan tentang perasaan yang bisa meggambarkan pendapat peserta dalam proses fasilitasi selama empat hari tersebut.

Pelajaran yang bisa dipetik dari pelatihan proses fasilitasi ini adalah menjadi bekal penting para peneliti dan aktivis perdamaian dalam menggalang sejumlah isu terkait bina-damai. Pelatihan empat hari terasa kurang cukup karena banyak materi-materi teknis fasilitasi yang penting yang harusnya bisa diulas secara panjang lebar dan mendalam terkendala waktu. Pelatihan ini penting dilanjutkan dalam teknik dan jenjang berikutnya karena beragamnya metode dan pengalaman dalam memfasilitasi sebuah forum masyarakat.

Secara teknik dan metode, dua fasilitator dari UGM, yang juga peneliti senior PUSAD tersebut banyak pengalaman yang bisa digali dari kerapnya mereka menjadi mentor dalam proses memfasilitasi, mulai dari di wilayah konflik, fasilitasi polisi, fasilitasi forum warga dan lain sebagaianya. Suasana menyegarkan dalam setiap forum pelatiha ini adalah banyakya model icebreaking dalam berbagai bentuk dan tujuan***