Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran

Sisi Gelap Reformasi di Indonesia: Munculnya Kelompok Masyarakat Madani Intoleran

Disampaikan sebagai Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) di Aula Nurcholish Madjid, Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, 19 Desember 2013.

Nurcholish Madjid bekerja sepanjang hidupnya untuk mempromosikan kerukunan beragama.  Beliau memandang Islam sebagai agama terbuka untuk perubahan dan pembaharuan melalui pendekatan yang inklusif di mana kesamaan antara agama dipandang lebih penting daripada perbedaan. Ketika saya melihat perdebatan-perdebatan yang terjadi hari ini, saya menyadari betapa kita kekurangan orang seperti Cak Nur atau Gus Dur yang memperjuangkan toleransi dengan komitmen yang dalam. Tapi saya pikir kita semua harus berterima kasih kepada Paramadina yang aktif melakukan penelitian serta menyediakan tempat untuk diskusi untuk menghormati warisan Cak Nur dan menjaga gagasan Islam yang inklusif bisa tetap hidup diantara kita.

Ide untuk kuliah ini datang dalam perjalanan penelitian saya tentang terorisme, ketika saya mulai menemukan lebih banyak kasus para pemuda yang awalnya aktif terlibat dalam kampanye anti-maksiat kemudian beralih ke bentuk yang lebih ekstrem, yaitu aksi-aksi kekerasan. Mereka memulainya dengan menggunakan tongkat dan batu atas nama menjaga moralitas umat serta menjaga Islam dari hal-hal yang diangap menyimpang, namun belakangan mereka mencoba menggunakan bom.

Contohnya apa yang terjadi di Cirebon, di mana sebagian orang yang membantu merencanakan pemboman Masjid adz-Dzikir awalnya adalah anggota dari dua kelompok masyarakat madani garis-keras terkemuka: Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) dan Gerakan Anti Pemurtadan & Aliran Sesat (GAPAS). Keduanya dipimpin seorang ulama yang juga pengurus MUI (Majelis Ulama Indonesia) setempat dan mengajar di STAIN (Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri) Cirebon. Kedua kelompok ini bertanggungjawab atas serangkaian aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dan tempat-tempat maksiat. Mereka menutup sebuah stasiun televisi Kristen pada tahun 2008, menutup secara paksa beberapa balai pertemuan Protestan, bekerja sama dengan polisi untuk melarang sekte “Surga Eden” pada awal 2010, menyerang kampung Ahmadiyah di Manis Lor, dan kemudian – pada tahun yang sama – serangkaian serangan terhadap karaoke serta supermarket yang yang menjual bir.

Bagi saya, yang mengejutkan tak hanya soal menyeberangnya beberapa anggota GAPAS atau FUI ke kelompok teroris, tetapi juga bahwa kegiatan anti-minoritas mereka telah dipromosikan oleh seorang dosen di lembaga pendidikan negara, dan dalam beberapa kasus serangan anti-maksiat mereka bisa bekerjasama dengan polisi setempat. Kita sulit mengerti perkembangan masyarakat madani (civil society) yang intoleran tanpa memahami dukungan aktif terhadap organisasi-organisasi ini dari orang-orang yang berkuasa.

Malam ini saya ingin mengeksplorasi berbagai tantangan bagi Indonesia yang datang dari masyarakat madani macam ini. Bagaimana masyarakat demokratis mengatasi kelompok yang secara fundamental sangat anti-demokrasi? Banyak negara demokrasi di Barat mengandalkan UU anti-penyebaran kebencian serta meningkatkan hukuman untuk kejahatan yang dimotivasi oleh kebencian atas agama serta ras tertentu, sambil mengakui bahwa demokrasi harus menyediakan ruang bagi organisasi yang mempromosikan pandangan eksklusif.

Di Indonesia, masalahnya jauh lebih kompleks, tapi solusinya setidaknya harus dimulai dari penolakan kekerasan. Pemimpin di tingkat nasional hingga lokal harus berkomitmen menegakkan hukum terhadap berbagai aksi penghasutan, vandalisme serta penyerangan. Mereka juga perlu memastikan bahwa yang berada di sekitarnya – para menteri, kepala dinas, penasihat dan staf – juga punya komitmen yang sama. Tak ada gunanya bagi Presiden untuk meminta warga agar menghormati keragaman ketika beberapa menterinya sendiri mengirim pesan yang sebaliknya.

 Unduh makalah selengkapnya