“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

Pendahuluan [*]

Sejak Republik Islam Iran berada di bawah kepemimpinan Ayatullah Ruhullah Khomeini, yang berhasil menjatuhkan Shah Iran lewat sebuah revolusi Islam pada 1979, negara berpenduduk mayoritas Muslim Syi`ah itu dikenal sebagai musuh bebuyutan Amerika Serikat (AS). Tetapi Iran, juga warga Muslim Syi`ah pada umumnya di negara-negara lain, layak berterimakasih kepada pemerintahan AS setidaknya untuk satu hal. Invasi militer AS ke Irak, pada awal musim semi tahun 2003, telah berhasil menyingkirkan Saddam Hussein, diktator Irak, dari kekuasaan yang telah hampir setengah abad dipegangnya. Dan dengan begitu, penduduk Syi`ah Irak, kelompok mayoritas di negara yang didominasi Muslim Sunni itu, mulai bebas menjalankan ritual agama mereka. Ini perkembangan penting baru, karena sebelumnya, khususnya pada dekade 1980-an, Iran terlibat dalam sebuah perang terbuka dan mematikan dengan Irak, yang kala itu turut dibantu AS.

Pengaruh “hilangnya” Saddam di Irak itu amat terasa khususnya pada setiap bulan Muharram (bulan pertama dalam kalender Islam), persisnya ketika Muslim Syi`ah menjalankan peringatan Asyura, salah satu ritual penting Islam Syi`ah. Hal itu karena lokus utama upacara ritual ini adalah kota Karbala, satu kota penting umat Syi`ah, yang kini terletak di Irak.  Pada tahun 2008, peringatan Asyura (artinya: hari kesepuluh, dari bulan Muharram) itu, yang bertepatan dengan pertengahan Januari 2008, berlangsung meriah.  Menurut berbagai laporan media massa, sekitar dua setengah juta kaum Syi`ah, baik yang berasal dari Irak maupun yang bukan, meramaikan jalan-jalan dan lembah-lembah Karbala.[†] Dengan beragam cara, mereka mengenang kesyahidan Imam Husein, cucu Nabi Muhammad Saw., dari perkawinan Ali bin Abi Thalib dengan putrinya Fathimah, yang oleh kaum Syi`ah dipandang salah satu imam mereka.

Mengingat dirinya seorang despot dan diktator beraliran Sunni, yang menindas rakyatnya yang mayoritas Syi`ah, sangat masuk akal jika Saddam punya kebijakan demikian. Saddam tahu bahwa peringatan ini bukan peringatan biasa.

Dan memang, bagi kaum Syi`ah, peringatan Asyura lebih dari ritual keagamaan biasa. Seperti drama sakral yang dihayati dan dipraktikkan kalangan Katolik tertentu di beberapa wilayah Amerika Latin dalam upacara Easter, yang terkait dengan penyaliban Yesus Kristus dan yang memperlihatkan kesediaannya untuk mati demi menyelamatkan orang lain, peringatan Asyura dimaksudkan sebagai ritual metahistoris. Maksudnya, sekalipun ia dilakukan di sini dan sekarang, ritual itu juga berdiri di luar atau melampaui waktu dan tempat aktual di mana ia dipraktikkan atau diperingati.  Demikian, karena ritual itu memungkinkan para partisipannya untuk mengaitkan diri mereka, secara fisik maupun emosional, dengan Imam Husein dan pengurbanannya demi penegakan keadilan.  Dan bersamaan dengan itu, keterlibatan dalam Asyura memberi makna penting kepada sebuah pilihan moral. Keterlibatan itu berfungsi sebagai forum bagi kaum Syi`ah untuk terus-menerus mengevaluasi diri, memertanyakan komitmen mereka di dalam menegakkan keadilan dan menghancurkan tirani.  Dus, bagi mereka, kematian Husein lebih dari sekadar aksi kesyahidan; itu juga suatu peralihan menentukan dalam sejarah umat manusia.  Peristiwa kesyahidannya memang terjadi dahulu kala, tapi pesannya melampaui zaman itu saja. Inilah makna di balik slogan yang terus diteriakkan para partisipan Asyura: “Tiap hari adalah Asyura, tiap bulan adalah Muharram, dan tiap tempat adalah Karbala.”

Slogan itu menjadi slogan utama yang diteriakkan Khomeini dan kaki-tangannya untuk memompa revolusi yang sedang dikibarkannya, sebelum akhirnya menang pada 1979. Tapi slogan yang sama pulalah yang diteriakkan lawan-lawannya sesama Syi`ah, seperti para gerilyawan dan aktivis Mojahedin di Iran, yang mencoba mendeligitimasi upaya Khomeini membangun dan menjalankan sebuah republik yang mengatasnamakan Islam Syi`ah. Di sini, peristiwa syahidnya Husein di Karbala menjadi sumber kultural bagi para penganut Syi`ah, dari kelompok sosial dan politik mana saja, untuk melakukan protes terhadap apa yang mereka pandang sebagai ketidakadilan.

Tapi mengapa kematian itu menjadi begitu penting? Makna moral apa yang bertahan, atau justru baru berkembang, dengan kematian itu? Mengapa makna moral itu bisa terus bertahan hingga hari ini, sehingga hal itu bisa dimanfaatkan dalam gerakan protes Syi`ah modern?  Bagaimana dan mengapa peristiwa yang sama menjadi sumberdaya kultural yang sama yang dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang bertentangan di kalangan Syi`ah sendiri, untuk tujuan yang juga bertentangan?

Artikel ini akan mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas. Saya terutama hendak melihat peristiwa Asyura sebagai sumberdaya kultural bagi kalangan Syi`ah untuk mendukung sebuah protes politik menantang mereka yang dianggap sebagai saingan atau lawan politik.  Dalam literatur teori gerakan sosial (social movement theory), aspek kultural atau ideologi ditempatkan sebagai perantara antara kesempatan politik (faktor eksogen), mobilisasi organisasi (faktor indogen), dan aksi kolektif.  Aspek kultural ini amat menentukan karena ia menawarkan, meminjam kata-kata Sidney Tarrow (1998: 20-21), “tafsir atau makna yang diberikan terhadap realitas yang sama-sama didukung oleh partisipan gerakan.” Pada tingkat yang paling minimal, aspek makna yang dihayati bersama ini penting agar para partisipan gerakan (1) merasa bahwa mereka dizalimi dalam aspek-aspek tertentu kehidupan mereka dan (2) merasa optimistik bahwa, dengan bertindak secara kolektif, mereka dapat mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh kezaliman itu.  Tanpa adanya kedua perasaan ini, orang-orang tidak akan bersedia terlibat di dalam gerakan sosial, sekalipun kesempatan tersedia untuk lahirnya gerakan sosial – dan karenanya kesempatan ini hanya akan terbuang percuma.  Gerakan “berhenti” hanya sebatas potensi, atau tidak tumbuh menjadi aktual.

Nah, ada atau tidaknya perasaan di atas dikondisikan oleh dinamika sosial-psikologis yang memungkinkan tumbuhnya perasaan itu. Inilah proses yang oleh David Snow dan kolega-koleganya disebut sebagai proses pengerangkaan (framing process), yaitu “upaya-upaya strategis yang dilakukan secara sadar oleh sekelompok orang untuk menampilkan pemahaman yang sama mengenai dunia dan diri mereka sendiri, yang melegitimasi dan memotivasi aksi-aksi kolektif” (Snow et al 1986, 465). Dalam literatur gerakan sosial, upaya-upaya pengerangkaan ini biasanya terkait dengan keharusan gerakan sosial untuk (1) mendiagnosis suatu kondisi sosial yang bermasalah untuk dipecahkan, (2) menawarkan jalan keluar dari masalah itu, dan (3) menawarkan alasan pembenar untuk memotivasi dukungan bagi aksi-aksi kolektif.  Semuanya ini penting, seperti ditulis Tarrow, “untuk menjustifikasi, memuliakan, dan mendorong aksi kolektif” (1998, 21).

Di bawah ini saya hendak menunjukkan betapa peristiwa Karbala dan pemaknaannya dalam bentuk “Paradigma Karbala” tumbuh sebagai salah satu sumberdaya kultural yang amat efektif bagi kalangan Syi`ah untuk digunakan sebagai penunjang protes kolektif. Contoh empirik terbaiknya adalah pemanfaatannya oleh Khomeini dalam mendorong terjadinya revolusi di Iran pada 1979. Tapi karena sumberdaya yang sama bisa juga digunakan oleh kalangan Syi`ah yang lain, perlawanan terhadap Khomeini oleh saingannya juga memanfaatkan hal itu.