“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

Mengenang Asyura, Membangun Perlawanan

Karena corak metahistorisnya (dulu, tapi juga kini) di atas, peringatan Asyura terus-menerus dibentuk dan ditafsirkan kembali, agar cocok dengan situasi dan tempat tertentu. Dengan begitu, peristiwa yang berlangsung jauh di masa lalu itu bisa tetap terasa relevansinya dengan situasi kontemporer.

Demikianlah, misalnya, di Iran pada abad ke-19, dalam drama Asyura, para aktor yang menggambarkan tentara Yazid yang digdaya itu mengenakan seragam tentara Rusia atau Inggris, tergantung kepada penguasa koloial mana yang paling berkuasa saat itu.  Pada akhir tahun 1970-an, tentara Yazid diasosiasikan dengan SAVAK, agen rahasia Shah Iran yang kejam. Sementara itu, setelah Ayatullah Khomeini berkuasa pada 1979, tentara Yazid nan jahat itu tiba-tiba berubah menjadi tentara … AS, si “Setan Besar.”

Lalu, beberapa tahun kemudian, dalam perang melawan Irak, Yazid berubah menjadi Saddam Hussein! Dan terakhir, di bawah Presiden Ahmedinejad sekarang, satu bom buatan Iran diberi nama, ya, “Asyura”.

Fenomena ini tidak saja ditemukan di Iran.  Di Lebanon, di mana masyarakat Syi`ah, dipimpin Hizbullah, terus bertempur melawan tentara-tentara Israel, mudah ditemukan anak-anak muda dengan pakaian seorang pembom bunuh-diri, seraya berjalan sambil tertunduk, mengekspresikan ratapan dan penderitaan, ikut serta dalam prosesi Asyura. Bahkan Hizbullah, yang mengawali praktik perlawanan dengan menggunakan “alat” (senjata) bom bunuh-diri, menyebut pelaku bom itu sebagai syahid. Itu dimaksudkan untuk mengaitkan orang-orang yang menjadi senjata itu dengan Karbala dan kesyahidan Husein.

Sementara itu, di Irak pra-invasi AS, Karbala menjadi lokus pertempuran terpenting antara kaum Syi`ah yang, didorong Presiden Bush I, mengangkat senjata menentang Saddam sesudah Perang Teluk I berakhir. Dan seperti Husein dan para pengikutnya sekitar 1.350 tahun sebelumnya, mereka segera dikunyah habis oleh tentara Saddam. Tapi simbolisme pengganyangan para syahid itu, oleh seorang despot Sunni, tetap bertahan dalam memori kolektif kaum Syi`ah Irak.  Maka, sekitar lima tahun lalu, ketika kaum Syi`ah sekali lagi bisa membanjiri Karbala untuk peringatan Asyura setelah Saddam tersingkir, mereka mengangkat tinggi-tinggi foto para pemimpin mereka yang terbunuh atau hilang.  Seraya itu, mereka juga meneriakkan slogan-slogan anti-Saddam, diktator brutal yang, seperti Yazid, menjadi ikon tirani dan penindasan.

 

Memperebutkan “Paradigma Karbala”

Yang menarik adalah kenyataan bahwa makna dan urgensi “Paradigma Karbala” juga diperebutkan oleh dua atau lebih kelompok Syi`ah yang berbeda pandangan dan saling bersaing secara politik. Di bawah ini, sebagai contoh empirik, saya hanya akan memfokuskan perhatian pada bagaimana hal itu dimanfaatkan oleh Khomeini dan lawannya di Iran, kelompok Mojahedin (Mujahidin Khalq).

Di atas saya sudah beberapa kali menyinggung bagaimana Imam Khomeini memanfaatkan “Paradigma Karbala” di masa-masa awal sesudah terjadinya revolusi. Tapi sesungguhnya pemanfaatan itu jauh lebih terasa ketika ia tengah menggalang kekuatan untuk menjatuhkan Shah Iran.  Pada hari Asyura tanggal 3 Juni 1963, misalnya, ketika ribuan jamaah berbondong-bondong datang ke kota suci Qom untuk mendengarkan ceramah-ceramah agama, Khomeini membuat pernyataan keras melawan Shah.  Ia membandingkan Shah dengan Yazid. Katanya: “Sekarang malam Asyura.  Kadangkala, ketika saya teringat peristiwa Karbala, satu pertanyaan muncul di kepala saya: jika Bani Umayyah, dan rezim Yazid, anak Mu`awiyah, ingin mengadakan perang dengan Husein, mengapa ia melakukan kejahatan yang begitu brutal dan di luar batas-batas kemanusiaan, terhadap kaum perempuan yang lemah dan anak-anak yang tak berdosa?”  Ia menjawab sendiri pertanyaan itu: katanya, Bani Umayyah hendak menghapuskan seluruh keluarga Nabi Muhammad, mencabut akar-akar Islam seluruhnya.  Ia kemudian memperlebar serangannya ke Shah dan menuduhnya menghancurkan al-Qur’an: “Jika penguasa Iran yang batil ini hendak membungkam … menghancurkan ulama, mengapa mereka harus menyobek-nyobek al-Qur’an …  Apa urusan mereka dengan madrasah atau dengan para pelajar?” Seperti halnya Bani Umayyah, kata Khomeini, Shah “sebenarnya ingin menentang dan menghapuskan Islam itu sendiri dan keberadaan kalangan ulama” (dikutip dalam Afary & Anderson 2005: 57-58).

Rujukan kepada Asyura dan peristiwa Karbala juga dilakukan Khomeini ketika ia mengobarkan semangat perlawanan kaum perempuan dan anak-anak, antara lain dengan memanfaatkan kaset-kaset yang berisi rekaman ceramah-ceramahnya yang keras mengeritik Shah Iran dan diselundupkan ke dalam Iran dari tempat-tempat pengasingannya di Irak dan Prancis. Ia misalnya menyatakan:

Kaum perempuan kita, yang gagah berani, menggendong anak-anak mereka dan menghadapi senapan mesin dan tank-tank tempur para pembunuh dalam rezim [Shah Iran] ini….  Saudara-saudaraku, perempuan dan laki-laki, busungkan dada kalian, jangan tunjukkan kelemahan dan ketiadaan bekeranian.  Kalian sedang mengikuti jalan Allah dan para nabi-Nya. Darah kalian mengalir di atas jalan yang sama di mana darah para nabi, imam dan para pengikut mereka yang mati syahid mengalir.  Kalian sedang mengikuti mereka.  Ini bukan saat-saat untuk sedih, tapi untuk bergembira.

Di dalam banyak sekali kesempatan, ia secara langsung menyebut kematian Imam Husein dan membangkitkan kembali ingatan pengikutnya mengenai Karbala.

Saudara-saudaraku, jangan takut menjadi syahid, menyerahkan nyawa dan hak milik kepada Tuhan, Islam, dan bangsa Muslim. Inilah yang juga dilakukan oleh nabi besar kita dan keturunannya. Darah kita tidak lebih bernilai dibanding darah para syuhada di Karbala….  Kalian, yang sudah berdiri dengan gagah berani membela Islam dan mengabdikan hidup dan hak milik kalian [untuk Islam], kini berada dalam barisan yang sama dengan para syahid di Karbala, sebab kalian mengikuti ajaran mereka. (Dikutip dalam Afary, 2003: 28)

Di luar pidato-pidatonya yang mengobarkan semangat, Khomeini juga memasukkan unsur “Paradigma Karbala” di atas dalam tulisan-tulisannya. Dalam Wilayat-i Faqih, misalnya, ia menulis: “Husein memberontak dan menjadi syahid justru untuk mencegah terbentuknya monarki dan proses pergantian pemimpin secara turun-temurun. Husein memberontak, dan menyerukan semua kaum Muslim untuk mengadakan perlawanan, karena ia menolak tunduk kepada kedudukan Yazid yang diperolehnya secara turun-temurun dan karena ia menolak untuk mengakui kerajaannya.” Dan sejalan dengan itu, Khomeini juga menyerukan kaum Muslim di Iran untuk “menciptakan sebuah Asyura, dalam perjuangan mereka menegakkan negara Islam” (dikutip dalam Enayat, 1989: 57).

Rujukan kepada “Paradigma Karbala” juga dilakukan Khomeini ketika dia sudah berhasil memimpin revolusi dan mengubah negara Iran menjadi Republik Islam Iran. Kali ini ia memanfaatkannya sebagai strategi dan taktik politik untuk memperkuat rezim baru yang berhasil didirikannya dan kemudian dipimpinnya itu. Misalnya, dalam referendum yang berlangsung pada musim semi 1979, di mana para pemilih ditanya apakah mereka mendukung atau tidak mendukung Republik Islam Iran, warna “Paradigma Karbala” memainkan peran penting: hijau (Husein, keadilan) adalah warna untuk mereka yang mendukung dan merah (Yazid, kezaliman) untuk yang tidak mendukung.  Pada saat yang sama, poster yang menyerukan agar rakyat Iran memilih Republik Islam Iran adalah tangan seorang syahid yang menyembul di atas permukaan sebuah makam seraya memegang kartu hijau dan di bawahnya tertera tulisan: “Ingat, dan jangan lupakan para syuhada.”  Sementara itu, dalam referendum mengenai undang-undang Islam, dilaksanakan pada musim dingin 1979, “politik warna” yang sama juga dimainkan Khomeini: hijau untuk kotak suara yang mendukung, dan merah untuk yang menolak.  Dengan hanya memainkan “politik warna” ini, Republik Islam Iran sudah jelas mengasosiasikan dirinya dengan Husein dan lawan-lawannya dengan Yazid.

Kemudian, sepanjang masa revolusi dan tahun-tahun pertama perang Iran melawan Irak, “Paradigma Karbala” berkembang menjadi sebuah paradigma aksi politik. Pada 1980, dalam suratnya kepada Paus Johanes Paulus II, Khomeini menulis: “Baiklah saya tegaskan di sini bahwa kami tidak takut kepada baik campur-tangan militer atau sanksi ekonomi, karena kami adalah kaum Syi`ah dan, sebagai umat Syi`ah, kami dengan senang hati menyambut tiap kesempatan untuk mengorbankan darah kami.” Dan, ya, seperti sudah disinggung di atas, Khomeini mengerangkakan permusuhan yang dipimpinnya antara Iran dan AS sebagai perjuangan antara pengikut Imam Husein melawan “Setan Besar”.

Tetapi karena cerita Karbala bukanlah sebuah doktrin, melainkan sebuah laporan tentang satu peristiwa, maka cerita itu terbuka terhadap berbagai jenis penafsiran atasnya, tanpa kehilangan kekuatan emosional apa pun yang diakibatkannya. Itu sebabnya mengapa “Paradigma karbala” juga menjadi sumberdaya kultural bagi beberapa kelompok yang memusuhi Khomeini dan Republik Islam Iran.  Salah satu kelompok itu adalah Mojahedin, sebuah organisasi yang dibentuk pada 1960-an dan berorientasi Marxis-Islamis.  Ketika Shah Iran masih berkuasa, organisasi itu adalah satu kekuatan besar yang bersaing dengan kelompok Islam di bawah Khomeini dalam menjatuhkan Shah.  Sesudah Khomeini berhasil mendirikan negara Islam di Iran, organisasi itu pun menjadi lawan politik utama Khomeini.

Pemanfaatan “Paradigma Karbala” oleh Mojahedin tampak dalam Nezhat-e Hosayni (“Gerakan Husein”), buku pegangan organisasi itu. Buku itu diakhiri dengan penekanan bahwa Karbala, Muharram, dan kesyahidan para pengikut Imam Husein mengandung sejumlah pesan abadi berikut ini: (1) bahwa manusia, tidak seperti hewan, punya kewajiban mulia untuk melawan penindasan; (2) bahwa pengorbanan-diri dan kesyahidan adalah sesuatu yang niscaya untuk memperoleh keadilan dan pembebasan; dan (3) bahwa mereka yang tunduk kepada ketidakadilan untuk hidup itu sesungguhnya telah mati, tapi mereka yang mati dalam melawan ketidakadilan sesungguhnya masih terus hidup.

Pesan-pesan di atas jelas mencerminkan perpaduan Islam dan Marxisme, dengan “Paradigma Karbala” sebagai porosnya. “Para syuhada’  Syi`ah,” tulis buku di atas, “sangat mirip dengan Che Guevara di zaman modern ini.  Mereka menerima kesyahidan sebagai sebuah kewajiban revolusioner dan memandang perjuangan bersenjata dalam memerangi penindasan sebagai kewajiban sosial mereka” (dikutip dalam Abrahamian, 1989: 94-95).

Salah satu momen penting dalam konflik kekerasan antara Mojahedin dan Republik Islam Iran adalah tanggal 20 Juni 1981. Di hari itu, perangkat keamanan Republik Islam Iran, baik yang reguler maupun yang paramiliter, menyerang markas Mojahedin. Oleh para redaktur Mojahed, koran kebanggaan organisasi itu, tanggal itu disebut sebagai “Asyura kita”:

Di hari itu, kita harus berdiri tegak dan melawan rezim Khomeini yang haus-darah dan reaksioner, sekalipun itu berarti mengorbankan hidup kami dan seluruh organisasi kami. Kami harus menempuh jalan menuju Karbala ini untuk terus mempertahankan ideologi Tawhid kami, meneladani jejak yang sudah ditempuh Imam Husein, menunaikan missi historis kami kepada rakyat Iran, dan melawan rezim yang paling haus-darah, paling reaksioner, dan paling ganas dalam sejarah dunia. (Dikutip dalam Abrahamian, 1989: 206)

Wajar jika pernyataan keras dan pahit itu disampaikan. Tidak kurang dari 71 pemimpin dan aktivis Mojahedin wafat hari itu, “jumlah yang hampir sama dengan jumlah anggota Mojahedin yang mati sepanjang tujuh tahun perang gerilya mereka melawan rezim Pahlevi” (Abrahamian, 1989: 213).