“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

“Tiap Hari Asyura, Tiap Bulan Muharram”: Paradigma Karbala dan Protes Politik Kaum Syi`ah

Mengenang Karbala, Membangun Rasa Ketertindasan

Sepanjang hampir 1.350 tahun terakhir sesudah peristiwa Karbala terjadi, kaum Syi`ah terus memperingati kesyahidan Husein di atas dengan melakukan rangkaian ritual yang dimaksudkan sebagai ratapan, semacam partisipasi dalam penderitaan, yang mencapai puncaknya pada setiap hari kesepuluh Muharram. Lebih dari satu keyakinan atau dogma mana pun, kata Janet Afary, “ritual-ritual di bulan Muharram inilah yang lebih mendefinisikan komunitas-komunitas Syi`ah” (2003: 13).

Ada tiga rangkaian ritual besar dalam rangkaian peringatan ini. Pertama, ada rowzeh khavani, pembacaan narasi secara dramatis riwayat hidup dan penderitaan para imam, khususnya Husein.  Sumber pokoknya adalah sebuah kitab abad ke-16 berjudul Rowzat al-Shohada (Taman Para Syuhada). Kisah-kisah itu dibaca bersama di taman atau dalam rumah, di mana keluarga besar berkumpul, dan para ulama berceramah khususnya mengenai Husein, posisinya dalam sejarah Islam dan upayanya menentang tirani Bani Umayyah.  Mendengar kisah-kisah ini, mereka yang hadir tersedu-sedan dan menangis.

Kedua, peristiwa Karbala diingat kembali lewat sinehzani, ritual menyakiti-diri dan meratap yang umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki. Ritual ini berisi prosesi pemakaman di mana para partisipannya, semuanya berseragam hitam, berjalan bersama dalam bentuk parade melewati jalan-jalan atau pasar di hari kesepuluh Muharram. Di posisi paling depan parade ini, diusung sesosok mayat yang dimaksudkan sebagai penggambaran mayat Imam Husein yang mati syahid.  Di tengah-tengah perjalanan, para partisipannya biasanya meneriakkan ratapan mereka atas penderitaan yang dialami para imam dan memukul dada mereka sendiri secara ritmis, kadang dengan menggunakan senjata-senjata tajam seperti pedang.

Ketiga, yang paling menonjol dan populer, dan karenanya juga paling penting untuk dibahas agak panjang di sini, kisah Karbala juga dimainkan dalam bentuk drama, sebagai representasi teatrikal peristiwa itu, dalam apa yang disebut ta`ziyeh. Ini salah satu bentuk pertunjukan teater paling tua di Timur Tengah yang dihadiri oleh rakyat biasa dengan penuh antusiasme. Kisah penderitaan Husein, juga para pengikutnya yang setia, termasuk perempuan dan anak-anak yang amat menderita, dimainkan dalam pertunjukan ini. Baik aktor maupun narator drama mengisahkan secara detail bagaimana anak-anak menderita haus yang sangat, karena dikepung di tengah Karbala yang panas tanpa akses ke sumber air, dan bagaimana Yazid dan Shemr, misalnya, begitu tega membunuh Husein dan para pengikutnya di siang bolong hari Jumat, ketika kaum Muslim lain di kolong langit melaksanakan salat Jumat.  Di ujung-ujung pertunjukan, tangis para audiens makin keras terdengar: selain penderitaan Husein dan para pengikutnya diperlihatkan kepada mereka secara figuratif, mereka sekaligus juga diingatkan akan pengkhianatan komunitas Kufah, yang tidak berdiri di pihak Husein dan dengan begitu memungkinkan berlangsungnya kezaliman Yazid. Yang paling dramatis adalah momen pemakaman Husein: para partisipan – laki-laki dan perempuan, kadang anak-anak – mencederai bagian depan kepala mereka dengan pedang atau pisau, memukul-mukul dada mereka, sambil berseru “Ya, Husein; Ya, Husein.” Mereka juga melukai tubuh mereka dengan rantai atau pecut, hingga warna merah darah membasahi pakaian mereka dan jalan-jalan yang mereka lewati.

Karena posisinya yang begitu penting dan populer, sudah lama ta`ziyeh menarik perhatian para penggiat teater di seluruh dunia. Salah satunya adalah Peter Brook, salah seorang sutradara teater paling menonjol di dunia asal Inggris, yang kemudian mementaskan drama itu di New York, pada 2003. Berikut adalah penuturannya tentang bagaimana ia “menemukan” ta`ziyeh dan memahami signifikansinya:

Di sebuah desa Iran yang terpencil, saya menyaksikan satu dari beberapa hal yang paling mengesankan yang pernah saya lihat dalam teater: satu kelompok, terdiri dari sekitar 400 orang desa, seluruh penduduk desa itu, duduk di bawah sebuah pohon dan bersama-sama tertawa serta menangis, kadang tersedu – sekalipun mereka semua tahu akhir cerita itu – ketika mereka menyaksikan Husein berada dalam ancaman pembunuhan, dan kemudian berdialog dengan musuh-musuhnya, sebelum akhirnya dibunuh sebagai syahid. Dan ketika ia dimartirkan, apa yang sebenarnya teater itu kemudian berubah menjadi sebuah kebenaran – tidak ada lagi perbedaan antara masa lalu dan masa sekarang. Sebuah peristiwa yang dikisahkan sebagai sesuatu yang diingat dan terjadi sekitar 1.300 tahun lalu, tiba-tiba menjadi sebuah realitas dalam momen itu. (Dikutip dalam Chelkowski dan Dabashi, 1999: 80)

Brook juga menceritakan bahwa drama itu dimainkan oleh orang-orang biasa, bukan aktor-aktor profesional.  Ketika ta`ziyeh akan dimulai, seseorang akan memperkenalkan para pemain: Ini si Ahmad tukang listrik, atau Rahim si sopir taxi, bukan Abul Fazl atau Husein, dan ini desa Mahmoudieh, bukan Karbala. Biasanya, tambah Brooks, aktor yang memerankan Yazid mengenakan pakaian merah, sedang Husein diperankan aktor berkostum hijau. Lalu, aktor yang memainkan peran Shemr, pembunuh Imam Husein di Karbala, biasanya memulai adegan terakhir drama itu dengan menyatakan:

Saudara-saudara yang berkumpul di sini! Ingat: tak satu pun dari orang-orang ini Imam Husein. Atau para syuhada Karbala. Aku sendiri bukan Shemr. Dan tempat ini bukanlah Karbala! Satu-satunya tujuan pertemuan ini adalah untuk meratapi dan menghormati para syuhada Karbala.

Selain itu, ketika memainkan adegan membunuh Husein, aktor yang memerankan Shemr biasanya menangis dan tersedu-sedan di depan mikrofon. Para komandan musuh juga biasanya mendatangi Husein untuk mencium tangannya, sebelum berangkat memeranginya, lalu membunuhnya dengan kejam.

Langkah-langkah mengambil jarak di atas dimaksudkan untuk menunjukkan dua hal. Pertama untuk menegaskan bahwa para aktor itu sendiri adalah Syi`ah dan pengikut Imam Husein. Kedua, agar mereka terhindar dari kemarahan massa. Pada abad ke-19, ada catatan yang menyebutkan bahwa para “penonton” ta`ziyeh marah besar kepada “Shemr” dan membunuhnya.