Publikasi

Abstraksi: Menyusul tumbangnya rezim Orde Baru pada 1998, Indonesia menyaksikan munculnya kelompok-kelompok paramiliter yang terlibat dalam berbagai tindakan kekerasan. Dan salah satunya yang fenomenal adalah Barisan Ansor Serbaguna (Banser), sebuah organisasi paramiliter di bawah payung Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor), sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU)....

Ihsan Ali-Fauzi Mei ini Keluarga Besar Yayasan Paramadina memperingati 1.000 hari wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur), tokoh pembaruan Islam di Indonesia. Bagaimana sebaiknya menaksir gagasan dan gerbong pembaruan yang ditariknya? Mengapa pesan besar yang ia sampaikan kedodoran belakangan ini? Seraya meminjam dari sosiolog Robert Wuthnow, saya ingin...

  ON 3 JANUARY 1970, a young Muslim scholar stood before a large audience in Jakarta and delivered what would be the defining speech of his career. He observed that while Islam was developing rapidly in Indonesia, very few Muslims were attracted to Islamic politics. It was, he said pithily, a case of “Islam yes, Islamic party no!” His words were more than an observation about community attitudes; he was also endorsing the trend away from political Islam. For him, Islam’s future in Indonesia lay not in politics, but in cultural, intellectual and educational activity. The speaker was Nurcholish Madjid and his address created a furore. To understand why his words aroused such a reaction, one must know something of Nurcholish himself and the challenge facing political Islam in the late 1960s and early 1970s. Nurcholish was, at that time, one of the brightest young stars in the firmament of Indonesian Islam. He was a gifted intellectual with natural leadership qualities. He had twice been elected chairman of the country’s largest Muslim student body, the Muslim Students Association (HMI), and a leading role in Islamic politics seemed inevitable. Indeed, he was paid the accolade of being known as the ‘Young Natsir’ (Natsir Muda), a reference to the former prime minister and chairman of the Masyumi Islamic Party, Mohammad Natsir, who was the most revered figure in modernist Islamic politics.

Disampaikan sebagai orasi ilmiah dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture I, 7 Desember 2007, di di Auditorium Nurcholish Madjid, kampus Universitas Paramadina, Jakarta.  Acara ini diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina.   All human knowledge, insofar as a man is a member of a society in general, is not empirical, but ‘aprirori’ knowledge. The genesis of such knowledge shows that it preceds levels of self-consciousness and consciousness of one’s self value. There is no ‘I’ without a ‘we’ The ‘we’ is filled with contents prior to the ‘I’ (Max Scheler, Problems of a Sociology of Knowledge. 1980, p 67)

Buku tipis yang padat ini, berisi esai panjang Mohamed Fathi Osman, menyajikan kepada kita sebuah wawasan Islam mengenai pluralisme dan kemungkinan kontribusinya dewasa ini. Pendekatannya sebagian besar, atau hampir seluruhnya, bersifat normatif: umumnya nilai-nilai dan norma-norma pluralisme Islam diambil secara ad hoc dari dan/atau ditafsirkan...

Di kalangan akademisi Barat, khususnya mereka yang punya prestasi besar, menulis memoar bukanlah tradisi aneh. Tapi tak banyak buku sejenis yang ditulis peneliti Asia Tenggara atau, lebih khusus, Indonesia. Seingat saya hanya Clifford Geertz, yang sudah dianggap “duta besar antropologi untuk ilmu-ilmu sosial,” yang beberapa...

Alija Ali Izetbegovic, Bapak pendiri dan bekas Presiden Bosnia Herzegovina, wafat akibat serangan jantung, 19 Oktober 2003 lalu. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Kosevo, Sarajevo, yang masih compang-camping akibat perang. Setelah Edward Said juga wafat bulan lalu, dunia kembali kehilangan figur penting yang...

RASANYA mustahil memisahkan namanya dari pembicaraan tentang Islam di Indonesia atau bahkan tentang Indonesia secara keseluruhan. Sejak hampir tiga dekade lalu, ketika usianya masih relatif muda, beberapa makalah, buku dan disertasi doktor sudah ditulis orang mengenainya – baik di dalam maupun luar negeri. Buku rujukan...